Sabtu, 28 Agustus 2010

Askep Perawatan Luka Selulitis

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Penyembuhan luka yang terbaik adalah dengan membuat lingkungan luka tetap kering (Potter.P.1998 ), Perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940. Hingga tahun 1970. Tiga peneliti telah memulai tentang perawatan luka. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab lebih baik dari pada lingkungan kering, Winter (1962 ) mengatakan bahwa laju epitelisasi luka yang ditutup polyetylen dua kali lebih cepat dari pada luka yang dibiarkan kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial lebih cepat pada suasana lembab dari pada kering, dan ini merangsang perkembangan balutan luka modern ( Potter.P.1998 ). Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi, pada kenyataan tingkat infeksi pada semua jenis balutan lembab adalah 2,5% lebih baik dibandingkan 9% pada balutan kering (Thompson,J.2000). Rowel (1970) menunjukkan bahwa lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh, konsep penyembuhan luka dengan tehnik lembab ini merubah pelaksanaan luka dan memberikan rangsangan perkembangan balutan lengkap ( Potter.P.1998 ).
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan, tidak hanya berdasarkan kebiasaan, melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka, penggunaan antiseptic hanya untuk yang memerlukan saja karena efek toksinnya terhadap sel sehat, untuk membersihkan luka hanya memakai normal saline (Dewi,1999 ). Citoxic agent seperti povidine iodine,asam asetat, seharusnya tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka Karena dapat menghambat penyumbatan dan mencegah recepitelisasi luka dengan sedikit debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan NaCI dan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan (Walker.D.1996 ).
Tepi luka seharusnya bersih,berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka, tepi luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira 1minggu, kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu.

B.TUJUAN
Perawatan luka yaitu Suatu penanganan luka yang terdiri dari membersihkan luka, menutup dan membalut luka sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka.
1) Menjaga luka dari trauma
2) Imbolisasi luka
3) Mencegah perdarahan dan infeksi
4) Mencegah kontaminasi dengan kuman
5) Mengabsorbsi drainase
6) Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis










BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
 Perawatan luka yaitu Suatu penanganan luka yang terdiri dari membersihkan luka, menutup dan membalut luka sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka (Hidayat A.A.A dan Uliyah.2005 )
 Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit(taylor,1997). Luka adalah kerusakan kontiyuitas kulit. Mukosa dan tulang atau organ tubuh lain(koizer,1995).

B. Tujuan
1. Menjaga luka dari trauma
2. Immobilisasi luka
3. Mencegah perdarahan dan infeksi
4. Mencegah kontaminasi oleh kuman
5. Mengabsorbsi drainase
6. Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis

C. Indikasi perawatan luka
1. Balutan kotor dan basah akibat eksternal
2. Ada rembesan eksudat
3. Ingin mengkaji keadaan luka
4. Dengan frekuensi tertentu untuk mempercepat debridement jaringan nekrotik
D. Merawat luka terdiri dari :
1. Mengganti balutan kering
2. Mengganti balutan basah ke kering
3. Irigasi luka
4. Perawatan dekubitus (luka kotor)
1. Mengganti Balutan Kering (Luka jahit Post operasi)
Tujuan : Balutan kering melindungi luka dengan drainase minimal terhadap kontaminasi mikroorganisme.
Indikasi : Untuk luka bersih tak terkontaminasi dan luka steril
Persiapan Alat :
1. Set balutan steril dalam bak instrument kecil
• Sarung tangan steril
• Pinset 3 ( 2 anatomis,1 sirugis)
• Gunting ( Menyesuaikan kondisi luka)
• Balutan kasa dan kasa steril
• Kom untuk larutan antiseptic atau larutan pembersih
• Salep antiseptic
• Depress
• Lidi waten
2. Larutan pembersih yang diresepkan oleh dokter
3. Gunting perban
4. Larutan garam faal atau air
5. Sarung tangan sekali pakai
6. Plester, pengikat atau balutan sesuai kebutuhan
7. Bengkok 2 berisi lisol dan kosong ( kantung sampah)
8. Selimut mandi
9. Perlak pengalas
10. Alat pengukur luka
Prosedur Pelaksanaan
1. Jelaskan prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-langkah perawatan luka
2. Susun semua peralatan yang diperlukan dimeja dekat tempat tidur pasien ( jangan membuka peralatan)
3. Ambil kantung sekali pakai dan buat lipatan diatasnya, letakkan kantung dalam jangkauan area kerja atau dekatkan bengkok didekat pasien
4. Tutup ruangan dan tirai disekitar tepat tidur, tutup semua jendela yang terbuka
5. Bantu klien pada posisi nyaman dan selimut pasien hanya untuk memaparkan tempat luka. Intruksikan pasien untuk tidak menyentuh area luka atau peralatan steril
6. Cuci tangan
7. Pasang perlak pengalas
8. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester, ikatan atau balutan dengan pinset
9. Lepaskan plester dengan melepaskan ujung dan menariknya dengan perlahan sejajar pada kulit dan mengarah pada balutan ( bila masih terdapat plester pada kulit,ini dapat dibersihkan dengan aseton atau bensin)
10. Dengan sarung tangan atau pinset angkat balutan pertahankan permukaan kotor jauh dari penglihatan pasien
11. Bila balutan lengket pada luka, lepaskan dengan memberikan larutan steril atau Nacl
12. Observasi karakter dan jumlah drainase pada balutan
13. Buang balutan kotor pada bengkok, lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar, buang ditempat yang tepat( Bengkok lisol)
14. Buka bak instrument balutan steril atau secara individual tertutup bahan steril. Tempatkan pada meja disamping pasien balutan, gunting dan pinset harus tetap pada bak instrument steril atau dapat ditempatkan pada penutup steril yang terbuka digunakan sebagai area steril atau diatas kasa steril
15. Bila penutup atau kemasan kasa steril menjadi basah akibat larutan antiseptic ulangi persiapan bahan
16. Kenakan sarung tangan steril
17. Inspeksi luka, perhatikan kodisinya,letak drain, integritas jahitan atau penutupan kulit dan karakter drainase( palpasi luka bila perlu dengan bagian tangan non dominan yang tidak akan menyentuh bahan steril)
18. Bersihkan luka dengan larutan antiseptic yang diresepkan atau larutan garam fisiologis. Pegang kasa yang dibasahi dalam larutan dengan pinset, gunakan satu kasa untuk setiap kali usapan bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi, gerakan dalam tekanan progresif menjauh dari insisi atau tepi luka.
19. Gunakan kasa baru untuk mengeringkan luka atau insisi, usap dengan cara seperti pada langkah 18
20. Berikan salep antiseptic bila dipesankan gunakan teknik seperti langkah pada pembersihan, jangan di oleskan ditempat drainase
21. Pasang kasa steril kering pada insisi atau letak luka
a) Pasang satu kasa setiap kali
b) Pasang kasa sebagai lapisan kontak
c) Bila terpasang drain,ambil gunting dan potong kasa kotak untuk dipasangkan disekitarnya.
d) Pasang kasa lapisan kedua sebagai lapisan absorben.
22. Gunakan plester diatas balutan,amankan dengan ikatan atau balutan
23. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan
24. Buang semua bahan dan bantu klien kembali pada posisi nyaman
25. Cuci tangan
26. Dokumentasikan penggantian balutan, termasuk pernyataan respon klien, observasi luka, balutan dan drainase.



Hal yang perlu diperhatikan:
Saat mlepaskan atau memasang balutan,perhatikan untuk tidak mengubah posisi atau menarik drain
Bila lika kering atau utuh, penyembuhan mungkin optimal dengan pemaparannya atau menarik drain
Alat pelindng mata harus dipakai bila terdapat resiko kontaminasi okuler, seperti cipratan dari luka
Penyuluhan klien
Klien sering pulang dengan balutan yang mongering.klien atau keluarganya,diintruksikan tentang teknik mencuci tangan, pembersihan luka, dan pembuangan balutan kotor yang tepat. Tindakan ini memerlukan teknik steril.
Pertimbangan pediatri
Bila balutan memeng benar-benar diperlukan pada bayi atau anak kecil. Perawat harus memasukkan aktivitas bermain didalam rencana perawatannya sehingga kesempatan anan untuk melepaskan balutan akan minimal.
Pertimbangan giatri
Kulit klien lansia normalnya tidak elastic dan tipis. Oleh karenanya lakukan perawatan kusus, ketika melepaskan plaster.
2. Mengganti balutan basah ke kering
Pengertian:balutan basah kering adalah tindakan pilihan untuk luka yang memerlukan debridemen
Indikasi:
Luka bersih terkontaminasi dan luka luka infeksi yang memerlukan debridemen
Tujuan :
 Membersihkan luka terinfeksi dan nekrotin
 Mengabsorbsi semua eksudat dan debris luka
 Membantu menarikkelembaban dari luka kedalam balutan
Persiapan alat-alat:
- Set balutan steril krdalam bak instrument steril.
 Sarung tangan streril
 Gunting dan pinset stril(2 anatomis dan 1 sirugis)
 Depres
 Lidi waten
 Balutan kasa dan kasa steril
 Kom untuk larutan antiseptic atau pembersih
 Salep antiseptic(tidak menjadi keharusan)
- Larutan pembersih yang diresepkan oleh dokter
- Normal salin
- Sarung tangan sekali pakai
- Plester, pengikat atau perban sesui kebutuhan
- Kantung tanah air untuk sampah atau 2 bengkok ( 1 berisi lisol, 1 kosong )
- Selimut mandi
- Aseton atau bensin ( tidak menjadi keharusan)
- Perlak pengalas
- Gunting perban
Prosedur pelaksanaan:
1) Jelaskan prosedur pada klien dengan menggambarkan langkah-langkah perawatan luka
2) Susun semua perawatan yang diperlukan dimeja dekat tempat tidur(jangan membuka peralatan)
3) Ambil kantung sekali pakai dan buat lipatan diatasnya.letakkan kantung dalam jangkauan area kerja anda / letakkan bengkok didekat pasien
4) Tutup ruangan atau disekitar tempat tidur.tutup semua jendela yang terbuka
5) Bantu klien pada posisi nyaman dan selimut mandi pasien yang hanya untuk memeparkan tempat luka. Intrusikan pasien untuk tidur menyentuh area luka atau peralatan sterill
6) Cuci tangan secara menyeluruh
7) Letakkan bantalan tanah air dibawah klien / perlak pengalas
8) Kenakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester,ikatan atau perban
9) Lepaskan plaster dengan melepaskan ujungnya dan menarik secara perlahan,sejajar dengan kulit kearah balutan.
10) Dengan tangan yang telah menggunakan sarung tangan atau pinset,angkat balutan, permukaan bawah balutan yang kotor jauhkan dari penglihatan klien
11) Bila balutan merekat pada jaringan dibawahnya, jangan dibasahi. Perlahan bebaskan balutan dari eksudat yang mongering. Ingatkan klien tentang penarikan dan ketidak kenyamanan
12) Observasi karakter dan jumlah drainase pada balutan
13) Buang balutan kotor pada wadah yang telah disediakan,hindari kontaminasi permukaan luar wadah.lepaskan sarung tangan sekali pakai dengan menarik bagian dalam keluar. Buang pada tempat yang telah disediakan
14) Siapkan peralatan balutan steril. Tuangkan larutan yang diresepkan kedalam kom steril dan tambahkan kasa berlubang kecil
15) Kenakan sarung tangan
16) Inspeksi luka. Perhatikanlah kondisinya,letak drain,integritas jahitan atau penutupan kulit dan karakteristik drainase
17) Bersihkan luka dengan larutan antiseptic atau larutan normal sain. Pegang kasa yang telah dibasahi dengan larutan menggunakan pinset. Gunakan satu kasa untuk setiap tekanan pembersihan. Bersihkan dari area yang kurang terkontaminasi keaarea yang paling terkontaminasi. Bergerak dalam tekanan progesif menjauh dari garis insisi ataupun tepi luka.
18) Pasang kasa yang basah tepat pada permukaan luka. Bila luka dalam dengan perlahan buat kasa seperti kemasan dengan menekuk tepi kasa dengan pinset. Secara perlahan masukkan kasa kedalam luka sehingga semua permukaan luka kontak dengan kasa basah.
19) Pasang kasa steril kering diatas kasa basah
20) Tutup dengan kasa,pasang plaster diatas bantalan atau amankan dengan perban ataupengikat
21) Bantu klien pada posisi nyaman
22) Cuci tangan
23) Catat pada catatan perawatan dari observasi luka, balutan,drainase, dan respon klien
Hal yang perlu diperhatikan oleh perawat:
Pengangkatan balutan dan pemasangan kembali balutan basah kering yang baru dapat menyebabkan klien merasa nyeri
Perawat harus memberikan analgesik dan waktu penggantian balutan sesuai dengan puncak efek obat
Pelindung mata harus digunakan bila terdapat resiko adanya kontaminasi okuter. Seperti percikan dari luka
Penyuluhan klien
Klien biasanya tidak dipulangkan kerumah semsentara masih diperlukan penggantian bahan balutan basah kering. Klien dapat diajarkan tentang perawatan luka untuk mengantisipasi penggunaan balutan bawah kering.

o Perkembangan pediatri
Ada baiknya untuk menguatkan balutan basah kering dengan gulungn kasa untuk mencegah lepas secara tidak sengaja oleh anak usia bermain yang efektif. Kapan mungkin kuatkan balutan tetapi tidak mengika anak.
o Pertimbangan geriatri
Kulit klien lensa normalnya tipis dan tidak elastic. Gunakan perawatan khusus, dalam melepaskan plaster.

3. IRIGASI LUKA
- Pengertian
Suatu tindakan pembersihan secara mekanis dengan larutan isotonik atau pengakuan fisik terhadap jaringan debris.
- Tujuan
• Menghilangkan eksudan dan debris,benda asing dari luka yang lambat sembuh
• Memberikan pada daerah luka yang sakit
• Untuk meningkatkan penyembuhan atau memudahkan pengolesan obat luka
- Peralatan
• Bak instrument steril berisi: pinset 2, kasa steril, gunting, lidi waten.
• Larutan irigasi (200 – 500 ml sesuai pesanan ) dihangatkan pada suhu tubuh ( 37 – 40 C)
• Spuit irigasi steril ( kateter karet merah steril sebagai penghubung untuk luka dalam lubang kecil )
• Kom balutan steril dan peralatan untuk mengganti balutan
• Perlak pengalas
• Jelly dan spatel lidah
• Bengkok
• Sarung tangan steril dan bersih

- Prosedur pelaksanaan
1. Jelaskan prosedur pada klien. Gambarkan sensasi yang akan dirasakan selama irigasi.
2. Susun peralatan disamping tempat tidur
3. Posisikan klien sehingga larutan irigasi akan mengalir dari bagian atas tepi luka kebagian dalam kom yang diletakkan dibawah luka.
4. Letakkan perlak pengalas dibawah luka pasien.
5. Cuci tangan
6. Kenakan sarung tangan bersih sekali pakai dan lepaskan plester, ikatan atau perban
7. Lepaskan plester dengan melepas ujungnya dan menariknya perlahan, sejajar dengan kulit dan kearah balutan
8. Dengan tangan yang telah menggunakan sarung tangan atau pinset, angkat balutan, pertahankan bagian bawah yang kotor jauh dari penglihatan klien. Lepaskan satu demi satu balutan
9. Bila balutan lengket ke luka, lepaskan dengan meneteskan normal salin steril
10. Obstervasi kateter dan jumlah drainase aa bautan
11. Buang balutan kotor pa dah yang telah dsaan, indar ominasi engan permukaan luar waa. Lepaskan sarung tangan dengan menarik bagian dalam keluar. Buang ditempat yang disediakan
12. Siapkan peralatan steril. Buka kom dan tuangkan larutan. Buka spuit dan siapkan bak instrument. Pakai sarung tangan steril
13. Letakkan bengkok bersih menempel kulit pasien dibawah insisi atau letak luka
14. Hisap larutan kedalam spuit. Saat memegang ujung spuit
15. Lanjutkan irigasi sampai larutan jernih yang mengalir kedalam bengkok
16. Dengan kasa steril. Keringkan tepi lka, bersihkan dari yang terkontaminasi sampai ke area yang terkontaminasi. Bergerak dengan progersif menekan dari garis insisi atau tepi luka
17. Pasang balutan steril
18. Bantu klien untuk posisi yang nyaman
19. Bereskan peralatan dan cuci tangan
20. Catat pada catatan perawat volume dan tipe larutan, karakteristik drainase, penampilan luka, dan respon klien
- Hal yang diperhatikan perawat
a) Bila terpasang drain, lepaskan lapisan balutan satu persatu sehingga tidak terjadi penarikan drain tidak disengaja
b) Jangan paksa menyemprotkan irigan kedalam luka yang tidak tampak
c) Pelindung mata harus dipakai bila terdapat resiko kontaminasi okuler
- Penyuluhan klien
Klien biasanya tidak dipulangkan kerumah bila masih diperlukan irigasi. Namun demikian, instruksikan klien tentang prosedur irigasi luka sehingga ia dapat memantau kemajuan penyembuhannya. Selain itu, instruksikan dini membantu klien dan keluarganya menyiapkan kepulangan dan keperawatan rumah yang diperlukan .



4. PERAWATAN LUKA KOTOR ( DECUBITUS)
Perawatan pada luka kotorterjadi karena tekananterus menerus pada bagian tubuh tertentu sehingga sirkuylasi darah kedaerah tersebut terganggu.
a. Tujuan
- Mempercepat penyembuhan luka
- Mencegah meluasnya infeksi
- Mengurangi gangguan rasa nyaman bagi pasien maupun orang lain
b. Peralatan
Alat steril :
- Pinset anatomis
- Pinset sirugis
- Gunting luka ( lurus dan bengkok )
- Kapas lidi
- Kasa steril
- Kasa penekan ( deppers )
- Sarung tangan ( handscoon )
- Mangkok atau kom kecil 2
Alat tidak steril :
- Gunting pembalut
- Plester
- Bengkok atau kantung plastic
- Pembalut
- Alcohol 70%
- Betadine 2%
- Obat antiseptic atau desinfektan
- NaCl 0,9%
c. Prosedur Pelaksana
1. Jelaskan prosedur perawatan pada pasien
2. Tempatkan alat yang sesuai
3. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan ( mengurangi transmisi pathogen yang berasal dari darah ). Sarung tangan digunakan saat memegang bahan berair dari cairan tubuh.
4. Buka pembalut dan buang pada tempatnya dan pinset kotor tempatkan pada bengkok dengan larutan desinfektan
5. Bersihkan luka dengan NaCl 0,9% dan keringkan
6. Olesi luka dengan betadine 2% ( Sesuai advis dari doctor )dan tutup luka dengan kasa steril
7. Plester verban atau kasa
8. Rapikan pasien
9. Alat bereskan dan cuci tangan
10. Catat kondisi dan perkembangan luka
d. Hal-hal yang perlu diperhatikan
1. Cermat dalam menjaga kesterilan
2. Peka terhadap privasi pasien
3. Saat melepas atau memasang balutan, perhatikan tidak merubah posisi drain atau menarik luka
4. Alat pelindung mata harus dipakai bila terdapat resiko kontaminasi okuler seperti cipratan mata
Komplikasi penyembuhan luka
1. Infeksi
Infeksi bakteri pada luka dapat tejadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam dua sampai empat hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent. Peningkatan suhu dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Perdarahan
Perdarahan dapat menyebabkan suatu pelapisan jahitan, membeku pada garis jahitan, infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain ). Hipovolomia mungkin tidak cepat ada tanda, sehingga balutan dan luka dibawah balutan jika mungkin harus sering dilihat selama 24jam pertama setelah pembedahann dan tiap 8jam setelah itu, jika perdarahan berlebih terjadi penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlihatkan.
3. Dehiscence dan Efiserasi
Adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbekunya lapisan luka partial atau total. Efiserasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan, sejumlah factor meliputi: kegemukan, kurang nutrisi, multlriple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi empat sampai lima hari setelah operasi sebelum kollagen meluas didaerah luka. Ketika dehiscence dan efiserasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline, klien disiapkan untuk segera dilakukan insisi pada daerah luka.

PROSES PENYEMBUHAN LUKA
1. FASE INFLAMATORI (INFLAMSI)
Tahap inflamasi (peradangan) merupakan reaksi tubuh terhadap luka dan mulai dalam menit berakhir sekitar 3 hari. Proses perbaikan meliputi control of bleeding (hemostasis),mengirim darah dan sel pada aerea luka peradangan dan membentuk sel epitel pada wilayah luka atau epitilisasi. selama hemostasis,pembuluh darah yang terluka vasoconstriksi dan platelet bergabung utuk menghentikan perdarahan. Clots membentuk fibrin yang nantinya sebagai tempat untuk perbaikan sel. Jaringan yang rusak dan sel menyekresi histamine mengakibatkan vasodilatasi kapiler sekitar dan eksudasi serum dan sel darah putih kedalam jaringan yang rusak. Hal ini mengakibatkan kemerahan,edema, panas dan berdenyut disekitar. Respon peradanganmerupakan suatu keuntungan dan tidak ada arti jika kita berusaha untuk mendinginkan daerah tersebut atau mengurangi peradangan kecuali peradangan yang terjadi dalam lingkup yang tertutup (seperti pergelangan kaki atau leher)
Leukosit tiba dijaringan yang terluka dalam beberapa jam. Leukosit yang bertindak pertama kali yaitu neutrofil,yang mulai menghancurkan atau mematikan bakteri dan debris kecil. Neutrifil mati dalam beberapa hari dan meninggalkan enzim eksudat yang menyerang bakteri atau membantu dalam perbaikan jaringan. Pada peradangan yang kronik, neutrofil yang mati menghasilkan pus atau nanah. Leukosit yang ke-2 yaitu monosit yang berubah menjadi makrofag.makrofag merupakan pemakan sel yang membersihkan luka dari bakteri, sel yang telah mati dan debris melalui proses fagositosis. Makrofag juga menghancurkan dan mendaur ulang substansi seperti asam amino dan gula yangmembantu dalam perbaikan luka. Makrofag meneruskan proses pembersihan luka dengan debris dan merangsang pembentukan fibroblast yang akan mensintesis kolagen. Kolagen dapat ditemukan pada hari ke-2 dan merupakan komponen utama pada jaringan parut.
Setelah makrofag membersihakan luka dan mempersiapkan untuk perbaiakan jaringan sel epitel bergerak dari batas luka, dibawah dari clot atau scab. Sel epitel menyatu dibawah luka dalam waktu sekitar 48 jam. Lapisan tipis jaringan epitel terbentuk diatas luka sebagai barier terhadap organism penginfeksi dan bahan toksik. Hormone pertumbuhan dilepaskan oleh platelet dan makrofag. Factor inilah yang meningkatan proses penyembuhan. Fase peradangan merupakan fase yang lama dan proses perbaikan lebih lambat jika terjadi peradangan yanga kecil seperti pada penyakit yang melemahkan atau setelah pemberian steroid. Peradangan yang besar juga memperpanjang waktu penyembuhan karena sel berkompetisi untuk mendapatkan nutrisi yang tersedia. Peradangan akut adalah respon langsung dari tubuh terhadap cidera atau kematian sel. Gambaran makroskoapit perdangan yaitu kemerahan, panas, nyeri, pembekakan dan function laesa.
‘Rubor (kemerahan)
Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami peradangan. Waktu reksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar,dengan demikian lebih banyak darah mengalir kedalam mikrosirkulasi local. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atu kongesti,menyebabkan warna merah local karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan reksi peradangan diatur oleh tubuh baik secara neurogenik maupun secara kimia melalui pengeluaran zat seperti histamine.
Kalor (panas)
Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh, yang dalam keadan normal yang lebih dingin dari 37°c, yauti suhu didalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya,sebab darah yang disalurkan tubuh kepermukaan yang terkenal lebih banyak dari pada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas local ini tidak terlihat pada daerah yang terkena radang jauh didalam tubuh, karena jaringan tersebut sudah mempunyai suhu inti 37°c dan hiperemial local tidak menimbulkan perubahan.
Dolor (rasa sakit)
Dolor atau rasa sakit darin reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara.perubahan pH local atau konsentrasi local ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama,pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamine atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Selain itu pembekakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan local yang tanpa diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit.


Tumor (pembekakan)
Segi paling mencolok dari peradangan akut adalah pembekakan local (tumor).pembekakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel dari sirkulasi darah ke jaringan interstisial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah perdangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reksi perdangan sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang di sebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian leukosit meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian dari eksudat.
Fungsio laesa(perubahan fungsi)
Fungsio mlaesa atau perubahan fungsi adalah reaksi peradangan yang telah dikenal. Sebetulnya kita tidak mengetahui secara mendalam denga cara apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu. (Sylvia A.price, 1992)
2. FASE PROLIFERASI (RIGENERASI)
Dengan adanya pembentukan darah yang yang baru sebagai perkembangan dari rekonstruksi,fase proliferasi mulai dan berakhir sekitar 3-24 hari. Aktivitas utama selama fase regenerasi ini yaitu pengisian dalam luka dalam jaringan pengikat atau granulasi yang baru dan penutupan luka dengan epitilisasi. Fibroblas merupakan sel yang mensintesis kolagen yang akan menutup luka. Fibroblas merupakan sel yang mensintesis kolagen yang akan menutup luka. Fibroblast memerlukan vitamin B dan C,oksigen dan asam amino agar berfungsi sebagai semestinya. Kolagen memberikan kekuatan dan struktur integritas luka. Selama waktu ini luka mulai menutup dengan jaringan baru. Selama masa ini luka mulai menutupdengan jaringan baru. SEjalan dengan perkembangan perbaikan, kekuatan tensil luka meningkat dengan resiko rupture berkurang. Derajat dari stress atau tegangan pada luka mempengaruhi jumlah pembentukan jaringan parut. Contoh : lebih banyaknya jaringan parut yang terbentuk pada luka di ekstermitas dari pada wilayah yang kurang atau jarang untuk digerakkan seperti pada dada. Gangguan proses penyembuhan pada tahap ini biasanya diakibatkan oleh factor sistemik seperti umur,anemia,hypoproteinemia dan kekurangan zinc.
3. FASE MATURASI (REMODELLING)
Maturasi merupakan tahap akhir dari proses penyembuhan, hal ini mungkin membutuhkan waktu lebih dari satu tahun tergantung dari dalam dan panjangnya luka. Kolagen terus terbentuk. Bagaimanapun luka yang sudah sembuh biasanya tidak memiliki keuatan seperti pada jaringan yang lebih sedikit (melanosit) dan mempunyai warna yang lebih terang dari pada kulit normal. ( Sylvia A. Price,1992) dan ( Smelter 2002)










BAB III
TINJAUAN KASUS
Asuhan Kebidanan pada Tn.K Dengan Gangguan Rasa Nyaman dan Nyeri (Sellulitis )
I. PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan pada tanggal 21 juli 2010 jam 07.30 wib. Diruang cempaka 1 kamar D 1.
A . BIODATA
Identitas pasien
Nama : Tn.K
No. CM : 594.955
Umur : 65 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Undaan kidul RT 01/Rw 06 kudus
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Diagnosa : Selulitis
Tanggal masuk : 10 juli 2010


2. Identitas penanggung jawab
Nama :TN. M
Umur : 42 th
Jenis kelamin :Laki-laki
Agama :Islam
Alamat :Undaan kidul RT 01 / RW 06 kudus
Pendidikan :SMA
Pekerjaan :Swasta
Suku / bangsa :Jawa / Indonesia
Hubungan dengan pasien :Anak
B. RIWAYAT KASUS
1. Keluhan utama
Pasien merasakan nyeri pada tungkai kaki kiri.
P : Luka akibat terkena bendo (benda tajam)
Q : Terasa cekot-cekot
R : Nyeri pada bagian betis kaki kiri sampai lutut
S : 6
T : Nyeri terkadang dalam kurun waktu 3menit
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien sebelumnya dibawa kepuskesmas karena kaki terkena bendo, kemudian pasien mengatakan 3 hari tungkai kiri bengkak,kemerahan, nyeri, panas, pusing(+), mual(+), muntah(+).pasien datang ke rumah sakit lewat UGD
Therapy dari UGD:
- Infus RL 20 tts/mnt
- Cefotaxime 2x1 gr
- Ketorolac 1x30mg
Kemudian pasien dipindah diruang cempaka I untuk mendapat perawatan khusus.
3. Riwayat peyakit dahulu
Pasien mengatakan sebelumnya belum pernah mengalami penyakit seperti sellulitis ini. Pasien juga tidak mempunyai riwayat hipertensi, DM, jantung, dan ginjal.klien tidak memiliki riwayat alergi makanan
4. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit yang diderita dalam keluarga : Di dalam keluarga tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit hipertensi, DM, jantung, ginjal, TBC & asma.
5. Keadaan psikologi dan emosional
Pasien tampak tenang,dan emosional stabil
6. Keadaan social ekonomi
Pasien Berasal dari keluarga yang sederhana
7. Data spiritual
Keluarga pasien dan pasien beragama islam dan selalu berdoa untuk kesembuhannya serta pasien tidak pernah pergi ke dukun maupun ke tempat lainnya. Dan selama sakit pasien menjalankan sholatnya dengan cara tiduran di tempat tidur.
8. Pemenuhan kebutuhan sehari-sehari
a. Nutrisi
- Sebelum sakit : pasien mengatakan makan 3x sehari,nafsu makan baik (dengan porsi 1 piring habis).pasien minum air putih ±8 gelas / hari.
- Selama sakit : Pasien mengatakan makan 3x sehari,nafsu makan menurun (dengan porsi ½ piring)dengan menu bervariasi (nasi, lauk pauk, sayur). Pasien minum air putih ±6 gelas / hari.
b. Eliminasi
- Sebelum sakit : BAB 1x sehari dengan konsistensi feses lembek, warna kuning dengan bau khas,BAK 6-7 kali sehari dengan warna kuning jernih.
- Selama sakit : BAB 1x sehari dengan konsistensi feses lembek, warna kuning dengan bau khas, BAK lancar 4-5x sehari dengan warna urine kuning kemerahan.
c. Aktivitas
- Sebelum sakit :Keluarga pasien mengatakan sebelum sakit aktivitas sehari-hari dilakukan sendiri.
- Selama sakit :Keluarga pasien mengatakan aktivitas sehari-hari dilakukan denan bantuan orang lain,karena kaki kiri bila di gerakan terasa sakit.

d. Istirahat
- Sebelum sakit : Pasien dapat istirahat dan tidur malam 7-8 jam biasanya pukul 21.00-05.00 serta tidur siang 1 jam,pukul 11.00
- Selama sakit : Pasien dapat istirahat dan tidur malam 5-6 jam biasanya pukul 22.00-04.00.pasien tidak bisa istirahat dengan istirahat dengan istirahat dengan tenang karena merasakan nyeri pada kakinya.
e. Sexual
- Sebelum sakit : pasien mengatakan melakukan hubungan seksual 2 kali dalam seminggu.
- Selama sakit : pasien mengatkan tidak pernah sama sekali melakukan hubungan seksual.
f. Personal hygiene
- Sebelum sakit : Pasien mengatakan mandi 2x sehari, ganti baju setiap hari, gosok gigi 2x sehari serta keramas 3-4 x perminggu
- Selama sakit : Pasien mengatakan mandi 2x sehari dengan cara sibin,ganti baju setiap hari,gosok gigi 2x sehari serta keramas 2x seminggu

C. DATA OBYEKTIF
1) KU : Lemah
2) Kesadaran : CM
3) TB : 168 cm
4) BB : 56 kg
5) TTV
a) TD : 130/90 mmHg
b) Nadi : 80x/menit
c) Suhu : 36,3°c
d) Respirasi : 22x/menit
6) Pemeriksaan fisik
a. Kepala
 Bentuk : Mesosepal
 Rambut : Hitam beruban, ikal, tidak ada ketombe, bersih
 Muka
Cloasma : Tidak ada
Oedema : Tidak ada
Keadaan : Muka tidak anemis,bersih
b. Mata
 Konjungtiva : Merah muda (tidak anemis)
 Sklera : Putih
 Pupil : Reflek cahaya ( + )
c. Hidung
 Polip : Tidak ada
 Pernafasan cuping hidung : Tidak ada
d. Mulut
 Stomatitis : Tidak ada
 Karies gigi : Tidak ada
 Gusi berdarah : Tidak ada
 Warna bibir : Merah muda, tidak pucat
 Warna lidah : Merah muda
e. Telinga : Bersih, tidak ada serumen
f. Leher
 Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
g. Ketiak
 Kelenjar limfa :Tidak ada pembesaran
h. Dada
jantung
I : Ictus cordis tidak tampak
Pa : lctus cordis teraba pada sela iga ke-5
Pe : Pekak
A : Irama regular
Paru – paru
I : Simetris, gerakan paru kanan dan kiri sama
Pa : Vocal fremitus sama kuat
Pe : Sonor
A : Vesikuler
J. Abdomen
I : Datar
A : Terdengar bising usus 18 x/mnit
Pa : Nyeri tekan(-), benjolan(-), bengkak(-).
Pe : Timpani
K. Genetalia :
• Bersih dan tidak terpasang kateter
L. Ekstremitas atas :
• Simetris, tidak ada pembesaran getah bening, oedema(-), terpasang infuse RL 20 tts/mnit
M. Ekstremitas bawah :
• Kaki kanan tidak terdapat lesi(-),oedem(-).kaki kiri terdapat luka dari betis hingga tungkai serta oedem(+) dan terasa nyeri,luka basah warna kuning kemerahan dan terasa panas.


7. Pemeriksaan penunjang
 KIMIA DARAH
GDS 123mg/dl 70-150
Ureum 82,6mg/dl 11,0-55,0
Creatinin 1,5mg/dl 0,6-1,36
SGOT 25 u/I <37
SGPT 24 u/I <41
Kalsium 1,64 mmol/I 2,02-2,60
Calium 4,2mmol/I 3,6-5,5
Natrium 131mmol/I 135-155
Clorida 101mmol/I 75-108
Magnesium 1,1mmol/I 0,8-1,0

 RESULTS
WBC 15,3 H 10³/mm³ 3,5-10,0
RBC 4,52 10⁶/mm³ 3,80-5,80
HGB 12,8 α/dl 11,0-16,5
HCT 38,6 % 35,0-50,0
PLT 262 $ 10³/mm³ 150-390
PCT 176 $ % 100-500
MCV 85 4m³ 80-97
MCH 28,3 26,5-33,5
MCHC 33,1α/dl 31,5-35,0
RDW 14,5 % 10,0-15,0
MPV 6,7 $ pm³ 6,5-11,0
PDW 11,4 $ % 10,0-18,0


 WBC flaus :L1
DIFF
%LYM 7,7 L % 17,0-48,0
%MON 2,5 L % 4,0-10,0
%GRA 89,9 H % 43-76
#LYM 1,1 L 10³/mm³ 1,2-3,2
#MON 0,3 L 10³/mm³ 0,3-0,8
#GRA 13,9 H 10³/mm³ 1,2-6,8

Tanggal 12 juli 2010
GDP 123 mg/dl 80-100
GD 2 jam PP 101 mg/dl -150
Protein total 5,9 Gr/dl 6,2-8,0
Albumin 3,0 Gr/dl 3,8-5,4
Globulin 2,9 mg/dl 1,5-3,0
Tanggal 13 juli 2010
• Hematologi
Tanggal 14 Juli 2010
• Tranfusi darah sampai tanggal 27 juli 2010 masuk 8flash
• C albumin 100ml 1flas
Hb :8,3 gr/%



Tanggal 16 juli 2010
• Kimia darah
GDP 124 mg/dl 80-100
GDP 2jam PP 125 mg/dl -150

• Hb : 7,4 gr/dl (hematologi )
Tanggal 26 juli 2010
• Hematologi
Hb :9,4 gr/dl
• Kimia darah pada tanggal 27 juli 2010
Protein darah 6,2 gr/dl 6,2-8,0
Albumin 2,7 gr/dl 3,8-5,4
Globulin 3,5 mg/dl 1,5-3,0
• Hematologi
Hb : 13,3 gr/dl
II. THERAPY/ PENATALAKSANAAN
1. Pemasangan infus RL 20 tts/mnt
2. Pemberian terapi pengobatan
 Injeksi Cefotaxime 2 x 1000mg
 Injeksi Ketorolac 3 x 30mg
 Infuse Metro melalui infus 3 x 500mg
 Injeksi Furosemide 1 x 20mg
 Methyl prednisolone 1 x 125mg
III. DIIT
Diit nasi 1900 kalori dan tinggi protein.










ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PERAWATAN LUKA PADA Tn.K DENGAN SELULITIS
NO Hari/
Tanggal Data
Dasar Diagnosa
Kebidanan Tujuan Rencana
Tindakan Waktu Implementasi Evaluasi TTD
1 Rabu
21 juli 2010 DS:pasien mengatakan bernama Tn.K usia 65thn telah dioperasi 8 hari yang lalu pasien merasakan nyeri pada daerah luka bekas operasi

DO:Tn.K hari ke VIII post operasi dengan luka basah.Hasil TTV
TD :160/90mmHg
N : 86 x/mnt
S : 36,2 C
RR : 22x/mnt
Tidak terdapat pus & luka terlihat masih basah.
Nyeri pada tungkai kaki kiri Nyeri berkurang setelah dilakukan perawatan luka 1hari sekali *Lakukan pengkajian & anamnesa
*Memonitor KU & TTV
*Memonitor tanda infeksi
*Rawat luka setiap hari *Ajarkan tehnik relaksasi
*Kolaborasi pemakaian obat
-Cefotaxim 2x1 gr
-Ketorilac 3x300 gr
-Infus metronidasole 3x500 gr
- Metilpredni 3x125mg 07.30








08.00














10.00 Anamnesa pasien







Mengganti balutan luka













TTV S: Pasien mengatakan Tn.K usia 65thn.
O: KU: baik, nyeri berkurang, nafsu makan juga berkurang.

S: Pasien mengatakan untuk diganti balut lukanya.
O:Membersihkan luka dengan menggunakan larutan NaCl &Gentamicin pada daerah luka, tidak ada pus & luka masih terlihat basah.

O :TD :130/100
mmHg
N :86 x/mnt
S :36,4 °C
RR :23 x/mnt
Mencegah terjadinya infeksi pada luka.tanda infeksi yaitu Rubor,Tumor,Dolor, Color,Functio Lessa 10.20













12.00









14.00







21.00 Mengajari pasien untuk relaksasi nyeri dengan cara tarik nafas dalam dan kompres dengan air hangat.





Menganjurkan pasien makan makanan yang bergizi dan minum banyak.





Memonitor TTV






Memberikan injeksi intra vena S: Pasien mengatakan setelah dilakukan tarik nafas dalam & kompres merasa enak, tapi kadang-kadang merasakan nyeri pada daerah luka.
O : pasien tampak tenang

S: Pasien mengatakan mau mengikuti anjuran dengan makan sering tapi sedikit & minum banyak.
O : pasien tampak mengerti

S: -
O: TD:160/100mmHg
N :86 x/mnt
S :36,2 °C
RR :22 x/mnt

S: Pasien mengatakan mau disuntik obat.
O: Ketorolac 1x30mg
Cefotaxime 1x1000mg
Obat masuk lewat selang infus
2. Kamis
22 juli 2010 DS :Pasien mengatakan bernama Tn.K usia 65thn telah dioperasi 9hari yang lalu. Nyeri pada luka bekas operasi.

DO:hari ke IX post operasi dengan luka yang masih keluar cairan darah pada churis+pedis juga oedem.
Hasil TTV :
TD :140/90mmHg
N :84 x/mnt
S :36,2 °C Nyeri pada tungkai kaki kiri,panas, bengkak dan lemas. Nyeri berkurang setelah dilakukan perawatan luka 1hari.
Mencegah terjadinya infeksi. *Lakukan pengkajian & anamnesa
*Memonitor KU & TTV
*Memonitor tanda infeksi
*Rawat luka setiap hari *Ajarkan tehnik relaksasi
*Kolaborasi pemakaian obat
-Cefotaxim 2x1 gr
-Ketorilac 3x300 gr
-Infuse metronidasole 3x500 gr
- Metilpredni 3x125mg 07.30










08.00







09.00






11.00















11.30














12.00













15.30






21.00 Anamnesa pasien









Memonitor TTV






Memberikan injeksi intra vena




Mengajari pasien untuk relaksasi nyeri dengan cara tarik nafas dalam.










Melakukan perawatan luka dengan mengganti balutan kotor ke bersih.









Menganjurkan pasien untuk makan makanan yang bergizi dan minum banyak.








Memonitor TTV





Memberikan injeksi intra vena S: Pasien mengatakan bernama Tn.K usia 65thn.
O: KU: baik
Nyeri pada churis bertambah.
Nafsu makan berkurang.

S: -
O: TD :150/100mmHg
N :80 x/mnt
S :36°C
RR :24 x/mnt


S: -
O: Ketorolac 1x30mg
Metro inf 1x1 fl obat melalui selang infus

S: Pasien mengatakan setelah dilakukan relaksasi nyeri merasa enakan tapi terkadang merasakan nyeri pada daerah luka.
O: keadaan pasien terlihat tenang setelah tarik nafas dalam.

S: Pasien mengatakan bersedia untuk diganti lukanya
O: Membersihkan balutan dengan menggunakan larutan NaCl&Gentamicin.Tidak ada pus,warna luka kuning kemerahan .


S: Pasien mengatakan mau mengikuti anjuran
O:Pasien mengikuti anjuran dengan makan makanan yang bergizi sedikit tapi sering dan banyak minum air putih.

S: -
O: TD :140/90mmHg
N :84 x/mnt
S :36,2°C
RR :22 x/mnt

S: -
O:Ketorolac 1x30mg
Cefotaxime 1x1000mg










EVALUASI
NO Hari/tanggal Diagnosa kebidanan Evaluasi TTD
1 Rabu/21 juli
2010 jam 21.15 Nyeri pada tungkai kaki kiri S :pasien mengatakan nyeri sudah mulai berkurang tapi kadang-kadang masih sedikit sakit.
O : P: Luka akibat terkena bendo (benda tajam)
Q : Terasa cekot-cekot
R : Nyeri pada bagian betis kaki kiri sampai lutut
S : skala 5
T : Nyeri terkadang dalam kurun waktu 3menit
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi no 1,2,3,4,5,7

2 Kamis 22 juli 2010 jam 21.15 Nyeri pada tungkai kaki kiri, panas, bengkak, dan lemas S :pasien mengatakan nyeri sudah mulai berkurang tapi kadang-kadang masih sedikit sakit.
O : P: Luka akibat terkena bendo (benda tajam)
Q : Terasa cekot-cekot
R : Nyeri pada bagian betis kaki kiri sampai lutut
S : skala 4
T : Nyeri terkadang dalam kurun waktu 3menit
A : masalah teratasi sebagian
P : lanjutkan intervensi no 1,2,3,4,5,7

BAB IV
PENUTUP

A.KESIMPULAN
 Perawatan luka yaitu Suatu penanganan luka yang terdiri dari membersihkan luka, menutup dan membalut luka sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka
 Tujuan
- Menjaga luka dari trauma
- Immobilisasi luka
- Mencegah perdarahan dan infeksi
- Mencegah kontaminasi oleh kuman
- Mengabsorbsi drainase
- Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologis

 Indikasi perawatan luka
- Balutan kotor dan basah akibat eksternal
- Ada rembesan eksudat
- Ingin mengkaji keadaan luka
- Dengan frekuensi tertentu untuk mempercepat debridement jaringan nekrotik

DAFTAR PUSTAKA

1. Akper Karya Husada.2003. Ketrampilan dan Prosedur Keperawatan Dasar. Semarang
2. Stikes An-Nur. 2002. Laboratory Basic Skills. Purwodadi
3. Oswari. 1993. Bedah dan Perawatannya. Gramedia : Jakarta
4. Hidayat,AAA dan Uliyah, M.2005. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia, Jakarta, EGC.
5. Nurrachman,E,2001. Nutrisi Dalam Keperawatan,PT Sagung Seto, Jakarta
6. Brown,RG dan Burns,T.2002. Lecture Notes On Dermatology. 8th Edition.alih bahasa M Anies Zakaria, Erlangga: Jakarta
7. Sudiharto.1996.Asuhan Keperawatan pada Pasien Nyeri. Saduran dari Fundamental of Nursing: Jakarta




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
KATA PENGANTAR v
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 2
BAB II TINJAUAN TEORI 3
A. Pengertian 3
B. Tujuan 3
C. Indikasi perawatan luka 3
D. Merawat luka 4
1. Mengganti balutan kering 4
2. Mengganti balutan basah ke kering 8
3. Irigasi luka 13
4. Perawatan luka kotor (dekubitus) 16
BAB III TINJAUAN KASUS 24
A. Pengkajian 24
B. Therapy 34
C. Diit 35
D. Asuhan Keperawatan Dengan Perawatan Luka Pada Tn. K Dengan Selulitis 36
BAB IV PENUTUP 46
A. Kesimpulan 46
DAFTAR PUSTAKA

ASUHAN KEPERAWATA DENGAN PERAWATAN LUKA
PADA Tn.K DENGAN SELLULITIS DIRUANG CEMPAKA I
RSUD KABUPATEN KUDUS


Disusun Oleh :
1. PURNAMA SARI
2. SUHARMI
3. SUKMA MUJIANI
4. TIAS AFFIDA KHOIRUN N
5. WULAN WINDRIASIH
AKADEMI KEBIDANAN AN-NUR PURWODADI
TAHUN AJARAN 2009/2010
HALAMAN PENGESAHAN
Materi ini kami susun untuk memenuhi praktik klinik di RSUD Kudus. Materi yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PERAWATAN LUKA PADA Tn.K DENGAN SELLULITIS DIRUANG CEMPAKA I “ telah diterima dan disetujui oleh pembimbing klinik RSUD Kabupaten Kudus.
Pada hari :
Tanggal :

Disahkan oleh:

Pembimbing klinik I Pembimbing klinik II

(Retno Astuti AMK ) (Masvan Yulianto, S.Kep.Ns.M Kes)


Mengetahui
Koordinator Bimbingan dan Evaluasi
Diklat RSUD Kabupaten Kudus


(H.Dody Herbowo Laksono,S.Kep )

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sehingga kita senantiasa mendapat rahmat dan lindungannya.Amin…
Alhamdulillah atas ridho dari allah SWT kami dapat menyelesaikan penyusunan materi seminar yang berjudul’’ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PERAWATAN LUKA PADA Tn.K DENGAN SELULITIS DI RUANG CEMPAKA 1 KABUPATEN KUDUS‘’. Materi ini di susun untuk memenuhi praktik klinik di RSUD Kabupaten Kudus, serta pembimbing Akademi kebidanan AN-NUR Purwodadi.
Semoga materi yang telah di susun ini senantiasa memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi kita semua pada umumnya dan bagi para pembaca pada khususnya. Amin..,
Kami mohon maaf jika dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna untuk itu saran dan pesan dari pembaca, penyusun harapkan untuk memperbaiki makalah ini.



Kudus,28 juli 2010

Penyusun

Askep Anosmia

1. DEFINISI DAN ETIOLOGI
Definisi
Anosmia adalah suatu tidak adanya/hilangnya sensasi penciuman, dalam hal ini berarti hilangnya kemampuan mencium atau membau dari indera penciuman. Hilangnya sensasi ini bisa parsial ataupun total.
Etiologi
a. Defek konduktif
1) Proses inflamasi / peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan.
2) Adanya massa / tumor dapat menyumbat rongga hidung sehinga menghalangi aliran adorant / ke epitel olfaktorius.
3) Abnormalitas development (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan obstruksi.
4) Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hisposmia karena berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung.
b. Defek sentral / sensorineural
1) Proses infeksi / inflamasi menyebabkan defek sentral gangguan pada transmisi sinyal.
2) Penyebab congenital menyebabkan hilangnya struktur syaraf.
3) Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan.
4) Trauma kepala, operasi otak atau perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
5) Toksitisitas dari obat – obatan sistemik dan inhalasi
6) Definsi gizi (vit A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengarui pembauan.
Factor resiko
a. Proses degenerative patologi (penyakit Parkinson, Alzheimer)
b. Proses degenaratife normal (penuaan)
c. Lingkungan
o Perokok
o Pencemaran bahan kimia
o Cuaca
o Virus bakteri pathogen
d. Usia
Dengan bertambahnya usia seseorang jumlah neuron olfaktorius lambat laun akan berkurang sehingga mengurangi daya penciuman.
e. Jenis kelamin
Perempuan lebih beresiko menderita anosmia karena jumlah bulu hidung relative lebih sedikit daripada pria dan imunitas yang kurang sehingga beresiko terhadap infeksi pada hidung.
2. PATOFISILOGI
Indra penciuman dan pengecapan tergolong ke dalam system penginderaan kimia kita (chemosensation). Proses yang kompleks dari mencium dan mengecap di mulai ketika molekul – molekul dilepaskan oleh substansi di sekitar kita yang menstimulasi sel syaraf khusus dihidung, mulut atau tenggorokan. Sel – sel ini menyalurkan pesan ke otak, dimana bau dan rasa khusus di identifikasi. Sel – sel olfaktori (saraf penciuman) di stimulasi oleh bau busuk di sekitar kita. Contoh aroma dari mawar adonan pada roti. Sel –sel saraf ini ditemukan di sebuah tambahan kecil dari jaringan terletak diatas hidung bagian dalam, dan mereka terhubung secara langsung ke otak penciuman (olfaktori) terjadi karena adanya molekul – molekul yang menguap dan masuk kesaluran hidung dan mengenal olfactory membrane. Manusia memiliki kira – kira 10.000 sel reseptor berbentuk rambut. Bila molekul udara masuk, maka sel – sel ini mengirimkan impuls saraf (Loncent, 1988).
Pada mekanisme terdapat gangguan atau kerusakan dari sel – sel olfaktorus menyebabkan reseptor dapat mengirimkan impuls menuju susunan saraf pusat. Ataupun terdapat kerusakan dari sarafnya sehingga tidak dapat mendistribusikan impuls reseptor menuju efektor, ataupun terdapat kerusakan dari saraf pusat di otak sehingga tidak dapat menterjemahkan informasi impuls yang masuk.

3. MANIFESTASI KLINIS
a. Berkurangnya kemampuan dan bahkan sampai tidak bisa mendeteksi bau.
b. Gangguan pembau yang timbul bisa bersifat total / tidak bisa mendeteksi seluruh bau.
c. Dapat bersifat parsial / hanya sejumlah bau yang dapat dideteksi.
d. Dapat juga bersifat spesifik (hanya satu / sejumlah kecil yang dapat dideteksi)
e. Kehilangan kemampuan merasa / mendeteksi rasa dalam makanan yang di makan.
f. Berkurangnya nafsu makan.

4. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sesuai penciuman antara lain antihistamin bila diindikasi penderita alergi
b. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman.
c. Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan dekongostan nasal.
d. Suplemen zink kadang direkomendasikan
e. Kerusakan neuro olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk, karena tidak dapat di obati.
f. Terapi vitamin A sebagian besar dalam bentuk vitamin A

5. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN PENUNJANG MEDIS
a. Merubah / menghentikan obat – obatan yang diduga menjadi penyebab terjadi kelainan.
b. Menjaga agar mulut tetap basah dengan cara mengulum permen.
c. Menunggu beberapa minggu untuk melihat perkembangan selanjutnya.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Temuan laboratorium
Telah dikembangkan teknik – teknik untuk biopsi neuroepitelium olfaktorius.
b. Pencitraan
CT scan dan MRI dibutuhkan untuk menyingkirkan neoplasma pada fossa kranii anterior yang tidak diduga sebelumnya, sinusitis paranasolik dan neoplasma pada rongga hidung dan sinus paranasalis.
c. Pemeriksaan sensorik
1) Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif
Untuk menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensori kualitatif.
2) Langkah kedua menentukan ambang deteksi
Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing – masing lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk nil-teil metil karbonil. Tahapan hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing – masing sisi hidung.


PATHWAY
























7. ANALISA DATA

NO DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
1 DO : pemeriksaan diagnostic
DS : kemampuan membau berkurang sehinga sulit mengenali bau makanan dan lain – lain. Kerusakan sel olfaktori akibat infeksi sinus hidung yang serius Perubahan persepsi sensasi penciuman
2 DO : data kebutuhan nutrisi / porsi makan
DS : nafsu makan berkurang karena pasien kesulitan dalam mengenali bau Anoreksia Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

3 DO : data kebutuhan nutrisi / porsi makan
DS : kemampuan makan berkurang karena rasa makanan tidak enak Penurunan perasa Perubahan persepsi sensori






8. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan kerusakan sel olfaktori akibat infeksi sinus hidung yang serius.
2. Perubahan persepsi sensori rasa berhubungan dengan penurunan perasa.
3. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksia
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Perubahan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan kerusakan sel olfaktori akibat infeksi sinus hidung yang serius.
Tujuan : gangguan persepsi berkurang / hilang
KH : meningkatkan penciuman pasien
Intervensi :
 Kaji ketajaman pembau pasien
 Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
 Jelaskan kepada pasien dan keluarga untuk mematuhi program terapi
 Beri stimulasi bau – bau tertentu.
2. Perubahan persepsi sensori rasa berhubungan dengan penurunan perasa.
Tujuan :
KH :
 Kaji penciuman ketajaman perasa pasien
 Berikan stimulasi rasa tertentu
 Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
 Jelaskan kepada pasien dan keluarga untuk mematuhi
3. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksia
Tujuan : nutrisi tercukupi
KH : menghabiskan porsi makanan
Intervensi :
 Sajikan makanan selagi masih hangat
 Berikan makanan sedikit tapi sering
 Kolaborasi pemberian diet dengan ahli gizi

Askep Agnosia

ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN AGNOSIA

BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mengorganisasikan informasi sensorik agar bisa mengenal benda – benda / hilangnya daya untuk mengenali arti stimuli sensoris macamnya sesuai indranya.
Agnosia adalah ketidakmampuan menginterpretasikan / mengenal benda yang dilihat dengan menggunakan perasaan spesial. (KMB Vol 3 : 2090)
Agnosia adalah hilangnya kemampuan untuk mengenali benda – benda, orang, suara, bentuk / bau sementara arti tertentu tidak cacat juga tidak ada kerugian memori yang signifikan. Hal ini biasanya berhubungan dengan cedera otak / penyakit syaraf, khususnya setelah kerusakan pada lobus temporal.

B. Etiologi
1. Stroke
2. Demensia / gangguan neurologis
3. Brain damage kerusakan otak
4. Dementia singkat akal
5. Neurological disorders (see cognitive impairment) gangguan syaraf (gangguan kognitif)
6. Apallic syndrome – agnosia apallic syndrome – agnosia
7. Nielsen – jacobs syndrome – agnosia nielsen – jacobs syndrome – agnosia
8. Hereditary (turun – temurun)
9. Head injury (cedera kepala)
10. Brain infection (infeksi otak)




C. Manifestasi Klinis
1. Ketidakmampuan untuk mengenali obyek
2. Ketidakmampuan untuk mengenali orang
3. Ketidakmampuan untuk mengenali suara
4. Ketidakmampuan untuk mengenali suara yang akrab
5. Ketidakmampuan untuk mengenali bentuk
6. Ketidakmampuan untuk mengenali bau
7. Ketidakmampuan untuk mengenali benda asing

D. Type Jenis
1. Visual agnosia dikaitkan dengan lesi kiri lobus oksipital dan lobus temporal. Banyak pasien telah cacat parah bidang visual.
2. Obyek visual adalah ketidakmampuan untuk mengenali obyek.
Subtipe :
a. Formulir agnosia : pasien hanya merasakan bagian rincian, bukan keseluruhan objek.
b. Agnosia finger : ketidakmampuan untuk membedakan jari – jari tangan. Hal ini hadir dalam lesi yang dominan lobus parietal dan merupakan komponen dari sindrom berst mann.
c. Simultanogsia : pasien dapat mengenali objek atau rincian dalam mereka bidang visual, tetapi hanya satu persatu. Mereka tidak bisa melihat adegan, mereka milik atau membuat sebuah gambar keseluruhan dari rincian. Mereka benar – benar tidak dapat melihat hutan untuk pohon. Simultanagnosia merupakan gejala umum sindrom balint.
d. Agnosia asosiatif : pasien dapat menggambarkan adegan visual, dan kelas objek tapi masih gagal mengenali mereka. Dia mungkin, misalnya, tahu bahwa garpu adalah suatu yang anda makan dengan tapi mungkin kesalahan untuk sendok. Pasien yang menderita agnosia asosiatif dapat mereproduksi gambar melalui penyalinan.
e. Apperceptive agnosia : pasien tidak dapat membedakan bentuk visual dan begitu sulit mengakui, menyalin, atau membedakan antara rangsangan visual yang berbeda. Tidak seperti pasien yang menderita agnosia asosiatif, mereka yang agnosia apperceptive tidak mampu untuk menyalin gambar.
f. Agnosia cermin : pasien tidak dapat mengenali obyek atau aktivitas di kiri atau kanan lapangan pandang mereka. Penurunan dapat bervariasi dari kekurangan perhatian ringan untuk menyelesaikan ketidakmampuan untuk melakukan penalaran spesial berkaitan dengan sisi menderita. Gangguan ini mengambil namanya dari sebuah percobaan di mana pasien ditunjukkan benda tercermin dalam cermin dan melihat mereka, tetapi tidak dapat menemukan mereka ketika di minta.
g. Prospagnosia : pasien tidak dapat secara sadar mengenali wajah – wajah akrab, kadang – kadang bahkan termasuk mereka sendiri. Penurunan mungkin berbeda dari wajah membuat tidak masuk akan untuk dapat melihat wajah tapi tidak menghubungkan mereka dengan informasi semantik, seperti identitas orang tersebut, nama atau pekerjaan. Anehnya, walaupun tidak secara sadar mengenali orang, penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan prosopagnosia dapat menunjukkan respons emosional untuk wajah – wajah akrab. Terpengaruhnya orang mungkin mampu mengenali seseorang melalui isyarat lain, seperti suara yang dikenalnya atau pakaian. Hal ini terutama mungkin setelah bilateral (kedua sisi) atau kerusakan lobus temporal kanan. Para ahli tidak sepakat tentang penyebab prospagnosia. Ini mungkin obyek spesifik persepsi.
h. Alexia agnosia : ketidakmampuan untuk mengenali teks.
3. Agnosia warna : ada perbedaan antara persepsi warna versus pengakuan warna tengah. Achromoptasia mengacu pada kekurangan persepsi warna.
4. Agnosia auditori : mengacu pada gejala yang mirip dengan lingkungan isyarat no n verbal pendengaran. Hal ini terpisah dari kata tuli (juga dikenal sebagai kata ketulian murni) yang agnosia terhubung ke informasi verbal pendengaran reseptif. Amusia adalah agnosia untuk musik tuli. Kortikal mengacu kepada orang – orang yang tidak menanggapi informasi pendengaran tetapi pendengaran yang utuh.
5. Somatosensori agnosia / astereognisa terhubung ke taktil akal yaitu sentuhan. Pasien menemukan kesulitan untuk mengenali obyek yang sama dari gambar atau membuat gambar dari mereka. Pemikiran untuk dihubungkan ke lesi atau kerusakan di korteks somatosensori.

E. Pathofisiologi
Terjadinya agnosia karena adanya gangguan visual otaknya atau disfungsi neurologist akibat dari stroke, demensia gangguan perkembangan atau kondisi neurologist lainnya.
Agnosia merupakan hasil dari kerusakan dari daerah tertentu di otak lobus oksipital atau parietal otak, sehingga pada daera tersebut terdapat lesi yang dapat menyebabkan kerusakan syaraf sehingga terjadi berbagai bentuk agnosia.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pengujian neuropsychologic
Pasien diminta untuk mengidentifikasi objek melalui pengobatan sentuhan atau rasa lain. Jika diduga emineglect, pasien di minta untuk mengidentifikasi bagian – bagian tubuh mereka yang lumpuh atau objek dalam bidang hemivisual mereka.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi deficit primer indra individu atau komunikasi yang dapat mengganggu tes untk diagnosis. Pengujian neuropsychologic dapat membantu mengidentifikasi agnosia lebih halus.

2. CT atau MRI dengan atau tanpa protocol angiographic
Untuk mengarakteriasi lesi sentral (infark, perdarahan, massa) dan untuk memeriksa atrofi gangguan degeneratif.

G. Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk agnosia. Rehabilitasi terapi okupasi dapat membantu pasien belajar untuk mengimbangi kekurangan mereka.
Tapi terapi tersebut kadang dapat meningkatkan agnosia tergantung pada etiologinya.


PATHWAY

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Gangguan fokal neurologis
Pada lobus fokal terjadi gangguan kepribadian, gangguan efek, disfungsi system motor, kejang, aphasia.
Pada lobus oksipital terjadi gangguan penglihatan dan tidak dapat mengenali atau menyebut nama atau segala sesuatu yang dilihat.
Pada lobus temporal bias terjadi halusinasi pendengaran.
Pada lobus parietal dapat ditemukan ketidakmampuan membedakan kiri kanan.
2. Mentasi, perubahan kepribadian
Menurunnya daya ingat, kemampuan mengambil keputusan menurun.
3. Data dasar pengkajian
a. Aktivitas
Ketidakmampuan untuk menyebutkan kembali apa yang dilihat
Gangguan ketrampilan motorik
Ketidakmampuan untuk melakukan hal yang telah biasa dilakukannya.
b. Sirkulasi
4. Integritas ego
Kesalahan persepsi terhadap lingkungan
Kesalahan identifikasi terhadap objek
Perubahan citra tubuh dan harga diri yang dirasakan

5. Eliminasi
6. Makanan / cairan
Perubahan dalam pengecapan
Nafsu makan menurun
Berat badan menurun
7. Higyene
Perlu bantuan / tergantung pada orang lain.
8. Neuro sensori
Pengingkaran terhadap gejala yang ada terutama perubahan kognitif dan atau gambaran yang kabur.
Penurunan kemampuan, kognitif mengingat yang baru berlalu.
Penurunan komunikasi, kesulitan dalam menentukan kata – kata yang benar.
Bertanya berulang – ulang dengan substansi kata yang tidak memiliki arti (berpenggal – penggal).
Kehilangan kemampuan untuk membaca atau menulis.
Kesulitan dalam berfikir kompleks dan abstrak.
Gangguan daya ingat
Perubahan visual
Kemampuan menghitung sederhana
9. Kenyamanan
Resti cidera
10. Interaksi social
Merasa kehilangan kekuatan
Kehilangan control social



B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Kehilangan persepsi
2. Riwayat penyakit sekarang
Kehilangan memory, gangguan persepsi
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat pernah menderita trauma kepala, stroke
4. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga mungkin ada yang menderita tumor.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan kerusakan saraf olfaktorius
2. Gangguan persepsi sensori oftalmikus berhubungan dengan penurunan visus.
3. Gangguan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan gangguan penghantaran impuls
4. Gangguan persepsi sensori perasa berhubungan dengan kerusakan saraf vagus glosofaringeus
5. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan penglihatan

D. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan kerusakan saraf olfaktorius
a. Kaji hidung klien (warna kulit, kesimetrisan)
b. Gunakan metode untuk menstimulasi indra penciuman (bau wangi, parfum, bau yang tidak sedap)
c. Gunakan permainan sensori untuk menstimulasi realita, seperti mencium permen / vick’s
2. Gangguan persepsi sensori oftalmikus berhubungan dengan penurunan visus.
a. Intervensi : kaji adanya gangguan penglihatan, catat adanya penurunan lapang pandang, perubahan ketajaman persepsi (bidang horizontal / vertical) adanya diplopia (pandangan ganda)
b. Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian tubuh. Segmen lingkungan kehilangan kemampuan untuk mengenali objek yang sebelumnya dikenal / tidak mampu untuk mengenal anggota keluarganya.
c. Dorong klien mengekspresikan perasaan tentang penurunan / kemungkinan kehilangan penglihatan.
d. Orientasikan pasien terhadap lingkungan serta lingkungan orang lain di areanya.
e. Ciptakan lingkungan yang sederhana perabot yang membahayakan.
3. Gangguan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan gangguan penghantaran impuls
a. Periksa pendengaran klien secara sederhana dengan menggunakan suara bisikan.
b. Periksa pendengaran klien dengan menggunakan test rinne dan test weber.
c. Memandang ketika saling bicara
d. Menggunakan tanda – tanda non verbal (mis : expresi wajah menunjuk / gerakan tubuh) dan bentuk komunikasi lainnya.
4. Gangguan persepsi sensori perasa berhubungan dengan kerusakan saraf vagus glosofaringeus
a. Kaji penurunan ketajaman perasa pasien
b. Berikan stimulasi rasa tertentu
c. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
d. Jelaskan kepada pasien dan keluarga untuk mematuhi program terapi
5. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan penglihatan
a. Kaji faktor – faktor resiko yang mungkin timbul
b. Berikan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Jelaskan kepada pasien mengenai lingkungan sekitar



DAFTAR PUSATAKA

Smeltzer, Suzanne C.2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
http://agnosya.blogspot.com//2009.

Askep Trachoma

ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN TRACHOMA

BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Trachoma adalah sebuah penyakit mata menular, dan penyebab utama kebutaan akibat infeksi di dunia. Secara global, 84 juta orang menderita infeksi aktif dan hampir 8 juta orang menjadi tunanetra sebagai akibat dari penyakit ini.
Trakoma adalah salah satu bentuk radang konjungtiva (selaput lendir mata) yang berlangsung lama dan disebabkan oleh Chlamydia Trachomatis. Infeksi ini menyebar melalui kontak langsung dengan sekret kotoran mata penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain. Penyakit ini sangat menular dan biasanya menyerang kedua mata. Bila ditangani secepatnya, trakoma dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun bila terlambat dalam penanganannya, trakoma dapat menyebabkan kebutaan.
B. Etiologi
Trachoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan disebarkan melalui kontak langsung dengan mata, hidung, dan tenggorokan yang terkena cairan (yang mengandung kuman ini) dari pengidap, atau kontak dengan benda mati, seperti handuk dan / atau kain lap, yang pernah kontak serupa dengan cairan ini. Lalat juga dapat menjadi rute transmisi. Jika tidak diobati, infeksi trachoma berulang dapat mengakibatkan entropion yang merupakan bentuk kebutaan permanen dan disertai rasa nyeri jika kelopak mata berbalik ke dalam, karena ini menyebabkan bulu mata menggaruk kornea. Anak-anak yang paling rentan terhadap infeksi ini karena kecenderungan mereka untuk dengan mudah menjadi kotor, tetapi efek-efek pengihatan kabur dan gejala lebih parah lainnya sering tidak terasa sampai dewasa.
C. Klasifikasi
Mac Callan : Berdasarkan pada gambaran kerusakan konjungtiva, dibagi dalam 4 stadium yaitu :
1. Stadium Insidious : folikel imatur kecil-kecil pada konj palp sup, jar parut.
2. Stadium akut (trakoma nyata) : terdapat hipertrofi papil & folikel yang masak pada palp sup.
3. Stadium sikatriks : sikatriks konj, bentuk garis-garis putih halus disertai folikel dan hipertrofi.
4. Stadium penyakitembuhan : trakoma inaktif, folikel, sikatriks meluas tanpa peradangan.
Klasifikasi Menurut WHO
1. Trakoma Inflamasi-Folikuler (TF)
2. Trakoma Inflamasi – Intense (TI)
3. Trakoma Sikatriks (TS)
4. Trakoma Trikiasis (TT)
5. Kekeruhan kornea (CO)

D. Tanda dan gejala
Bakteri ini memiliki masa inkubasi dari 5 sampai 12 hari setelah seseorang mengalami gejala konjungtivitis atau iritasi mirip dengan “mata merah muda.” Endemik kebutaan trakoma merupakan hasil dari beberapa episode reinfeksi yang menghasilkan peradangan terus-menerus pada konjungtiva. Tanpa reinfeksi, peradangan akan berangsur-angsur mereda.
Peradangan konjungtiva disebut “trachoma aktif” dan biasanya terlihat pada anak-anak, terutama anak-anak pra sekolah (dasar). Hal ini ditandai dengan benjolan putih di permukaan bawah tutup mata atas (conjunctival folikel atau pusat-pusat germinal limfoid). Non-peradangan dan penebalan tertentu sering dikaitkan dengan papila. Folikel mungkin juga muncul di persimpangan kornea dan sclera (limbal folikel). Trakoma aktif akan sering menjengkelkan dan memiliki cairan berair. Infeksi sekunder bakteri dapat terjadi dan menyebabkan discharge purulen.
Perubahan-perubahan struktural trakoma disebut sebagai “cicatricial trakoma”. Ini termasuk jaringan parut di tutup mata (konjungtiva tarsal) yang mengarah pada distorsi tutup mata dengan tekuk dari tutup (Tarsus) sehingga muncul bulu mata gosok pada mata (trichiasis). Bulu mata ini akan mengakibatkan kekeruhan kornea dan bekas luka dan kemudian mengarah ke kebutaan. Bekas luka linear hadir dalam sulkus subtarsalis disebut ‘garis Arlt’s’. Selain itu, pembuluh darah dan jaringan parut dapat menyerang bagian atas kornea (pannus).
Lebih lanjut gejala termasuk:
1. Keluarnya cairan kotor dari mata – bukan air mata (emisi atau sekresi cairan yang mengandung lendir dan nanah dari mata)
2. Pembengkakan kelopak mata
3. Trichiasis (berbalik-nya bulu mata)
4. Pembengkakan kelenjar getah bening di depan telinga
5. Munculnya garis parutan pada kornea
6. Komplikasi pada telinga, hidung dan tenggorokan.
Komplikasi utama atau yang paling penting adalah ulkus (luka/iritasi) pada kornea karena infeksi bakteri.

E. Patofisiologi
Melalui kontak langsung dengan discharge yang keluar dari mata yang terkena infeksi atau dari discharges nasofaring melalui jari atau kontak tidak langsung dengan benda yang terkontaminasi, seperti handuk, pakaian dan benda-benda lain yang dicemari discharge nasofaring dari penderita. Lalat, terutama Musca sorbens di Afrika dan Timur Tengah dan spesies jenis Hippelates di Amerika bagian selatan, ikut berperan pada penyebaran penyakit. Pada anak-anak yang menderita trachoma aktif, chlamydia dapat ditemukan dari nasofaring dan rektum. Namun didaerah endemis untuk serovarian dari trachoma tidak ditemukan reservoir genital.
Masa inkubasi sukar ditentukan karena timbulnya penyakit ini adalah lambat. Penyakit ini termasuk penyakit mata yang sangat menular.
Gambaran kliniknya dibagi atas 4 stadium :
1. Stadium I; disebut stadium insipien atau stadium permulaan, didapatkan terutama folikel di konjungtiva tarsal superior, pada konjungtiva tarsal inferior juga terdapat folikel, tetapi ini tidak merupakan gejala khas trakoma. Pada kornea di daerah limbus superior terdapat keratitis pungtata epitel dan subepitel. Kelainan kornea lebih jelas apabila diperiksa dengan melakukan tes fluoresin, dimana akan terlihat titik-titik hijau pada defek kornea.
2. Stadium II; disebut stadium established atau nyata, didapatkan folikel-folikel di konjungtiva tarsal superior,beberapa folikel sudah matur berwarna lebih abu-abu. Pada kornea selain keratitis pungtata superficial, juga terlihat adanya neovaskularisasi, yaitu pembuluh darah baru yang berjalan dari limbus ke arah kornea bagian atas. Susunan keratitis pungtata superfisial dan neovaskularisasi tersebut dikenal sebagai pannus.
3. Stadium III; disebut stadium parut, dimulai terbentuknya sikatriks pada folikel konjungtiva tarsal superior yang terlihat sebagai garis putih halus. Pannus pada kornea lebih nyata. Tidak jarang pada stadium ini masih terlihat trikiasis sebagai penyakit. Pada stadium ini masih dijumpai folikel pada konjungtiva tarsal superior.
4. Stadium IV; disebut stadium penyembuhan. Pada stadium ini, folikel pada konjungtiva tarsal superior tidak ada lagi, yang ada hanya sikatriks. Pada kornea bagian atas pannus tidak aktif lagi. Pada stadium ini dijumpai komplikasi-komplikasi seperti entropion sikatrisiale, yaitu pinggir kelopak mata atas melengkung ke dalam disebabkan sikatriks pada tarsus. Bersamaan dengan enteropion, bulu-bulu mata letaknya melengkung kedalam menggosok bola mata (trikiasis). Bulu mata demikian dapat berakibat kerusakan pada kornea, yang mudah terkena infeksi sekunder, sehingga mungkin terjadi ulkus kornea. Apabila penderita tidak berobat, ulkus kornea dapat menjadi dalam dan akhirnya timbul perforasi.
F. Pencegahan dan pengobatan/perawatan
Meskipun trakoma dihapuskan dari banyak negara maju dalam abad terakhir, penyakit ini bertahan di banyak bagian dunia berkembang khususnya di masyarakat tanpa akses yang memadai terhadap air dan sanitasi. Dalam banyak masyarakat ini, wanita tiga kali lebih besar daripada laki-laki akan dibutakan oleh penyakit ini,karena peran mereka sebagai pengasuh dalam keluarga.
Tanpa intervensi, trakoma keluarga tetap bertahan dalam lingkaran kemiskinan, karena penyakit dan efek jangka panjang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pencegahan yang penting meliputi:
• Pembedahan: Bagi individu dengan trichiasis (berbaliknya arah lengkungan bulu mata ke arah dalam), sebuah prosedur rotasi bilamellar tarsal dibenarkan untuk mengarahkan bulu mata menjauh dari bola mata.
• Terapi antibiotik : Pedoman WHO merekomendasikan jika terjadi endemik massa (sekitar 10 % dari populasi suatu daerah) maka perawatan/pengobatan dengan antibiotik tahunan harus terus dilakukan sampai prevalensi turun di bawah lima persen. Jika prevalensi lebih rendah dari itu maka pengobatan antibiotik harus berbasiskan keluarga.
• Pilihan antibiotik: oral dosis tunggal 20 mg / kg atau topical tetracycline (satu persen salep mata dua kali sehari selama enam minggu). Azitromisin lebih disukai karena digunakan sebagai oral dosis tunggal.
• Kebersihan: Anak-anak dengan hidung terlihat terlalu berair, okular discharge, atau lalat di wajah mereka paling tidak dua kali lebih mungkin untuk memiliki trakoma aktif dibanding anak-anak dengan wajah yang bersih. Intensif kesehatan berbasis masyarakat untuk mempromosikan program pendidikan muka-cuci dapat secara signifikan mengurangi prevalensi trachoma aktif.
• Perbaikan lingkungan: Modifikasi dalam penggunaan air, kontrol lalat, penggunaan jamban, pendidikan kesehatan dan kedekatan dengan hewan peliharaan semuanya telah diusulkan untuk mengurangi penularan dari C. trachomatis. Perubahan-perubahan ini menimbulkan banyak tantangan untuk pelaksanaannya. Agaknya perubahan lingkungan ini pada akhirnya berdampak pada penularan infeksi okular melalui wajah kurangnya kebersihan.


G. Prognosis
Jika tidak diobati dengan baik dengan antibiotik oral, gejalanya dapat meningkat dan menyebabkan kebutaan, yang merupakan hasil dari ulkus (luka/iritasi) dan jaringan parut pada kornea. Operasi juga mungkin diperlukan untuk memperbaiki kelainan bentuk kelopak mata.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TRACHOMA

A. Pengkajian
1. Anamnesis
Kaji gejala yang dialami klien sesuai dengan geajala yang ditimbulkan, meliputi gatal dan rasa terbakar / sensasi benda asing pada infeksi bakteri akut da infeksi virus, nyeri dan fotofobia, keluhan peningkatan produksi air mata, pada anak – anak dapat disertai dengan demam dan keluhan pada mulut dan tenggorokan. Kaji riwayat detail tentang masalah sekarang dan catat riwayat cedera atau terpajan lingkungan yang tidak bersih. (Indriana N. Isitiqomah, 2004)
2. Pemeriksaan fisik
a. Pengkajian ketajaman mata
Kaji visus klien dan catat derajat pandangan perifer klien karena jika terdapat sekret yang menempel pada kornea dapat menimbulkan kemunduran visus.
b. Kaji rasa nyeri
Terjadi rasa tidak nyaman ringan sampai berat.
c. Kesimetrisan kelopak mata
Terjadi gangguan kesimetrisan kelopak mata akibat timbulnya jaringan parut pada kelopak mata yang berakibat entropen dan trikiasis (inversi bulu mata).


d. Reaksi mata terhadap cahaya / gerakan mata
Timbul fotofobia (sensitif terhadap cahaya) atau blepharospasme (kejang kelopak mata)
e. Kemampuan membuka dan menutup mata
Timbul gangguan penutupan kelopak mata secara efektif.
f. Pemeriksaan fisik (inspeksi)
Infeksi struktur luar mata dan inspeksi kelenjar untuk mengetahui adanya pembengkakan akibat inflamasi. (Brunner dan Suddart, 2001)
3. Pemeriksaan penunjang
Inkulasi klamidia dapat ditemukan pada kerokan konjungtiva yang di pulas dengan giemsa, namun tidak selalu ada. Inklusi ini tampak sebagai massa sitoplasma biru atau ungu gelap yang sangat halus, yang menutupi inti dari sel epitel. Pulasan antibody fluorescein dan tes immuno – assay enzim tersedia dipasaran dan banyak di pakai di klinik laboratorium. Tes bari tu menggantikan pulasan giemsa untuk sediaan hapus konjungtiva dan isolasi agen clamidial dalam biakan sel.
B. Analisa Data
1. Data objectif
 Gatal – gatal
 Nyeri (ringan sampai berat)
 Lakrimasi (mata selalu berair)
 Fotofobia (sensitif terhadap cahaya) atau blepharospasme (kejang kelopak mata)
2. Data subjectif
 Klien mengeluh gatal – gatal pada bagian mata
 Klien mengeluh nyeri pada bagian konjungtiva
 Klien mengeluh matanya mengalami reaksi sensitif terhadap cahaya
 klien mengatakan mengalami reaksi sensitif terhadapcahaya.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening (edema), fotofobia dan inflamasia.
2. Resiko tinggi penularan penyakit pada mata yang lain atau orang lain berhubungan dengan keterbatasan pengetahuan
3. Resiko tinggii cidera berhubungan dengan penurunan lapang pandang.
D. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening (edema), fotofobia dan inflamasia.
Tujuan : nyeri hilang / terkontrol, ketidaknyamanan hilang / terkontrol
Kriteria hasil :
Melaporkan nyeri / ketidaknyamanan tulang terkontrol
Pasien tampak rileks dan tenang
Intervensi :
a. Kaji derajat nyeri
Rasional : untuk mengetahui kemajuan / terjadinya komplikasi.
b. Beri kompres hangat
Rasional : untuk mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan dan membersihkan mata
c. Anjurkan klien menggunakan kacamata hitam pada cahaya kuat
Rasional : cahaya yang kuat dapat menyebabkan rasa tak nyaman.
d. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional : untuk mengurangi rasa nyeri.
2. Gangguan penglihatan / persepsi sensori visual berhubungan dengan kerusakan kornea
Tujuan : Penggunaan penglihatan yang optimal
Kriteria hasil :
 Pasien berpartisipasi dalam program pengobatan
 Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan lebih lanjut.
Intervensi :
a. Kaji derajat / tipe kehilangan penglihatan
Rasional : mengetahui harapan masa depan klien dan pilihan intervensi.
b. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan tentang kehilangan / kemungkinan kehilangan penglihatan.
Rasional : intervensi dini untuk mencegah kebutaan, klien menghadapi kemungkinan / mengalami kehilangan penglihatan sebagian atau total.
c. Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, mengikuti jadwal, tidak salah dosis.
Rasional : Mengontrol TIO, mencegah kehilangan penglihatan lebih lanjut
d. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, misalnya agen osmotik sistemik.
Rasional : untuk mengurangi TIO

3. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan lapang pandang dan kebutaan.
Tujuan : peningkatan lapang pandang optimal
Kriteria hasil :
Tidak terjadi cedera.
Intervensi :
a. Bersihkan sekret mata dengan cara benar.
Rasional : sekret mata akan membuat pandangan kabur.
b. Kaji ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau dua mata yang terlibat.
Rasional : terjadi penurunan tajam penglihatan akibat sekret mata.
c. Anjurkan pasien menggunakan kaca mata gelap
Rasional : mengurangi fotofobia yang dapat mengganggu penglihatan klien.
d. Perhatikan keluhan penglihatan kabur yang dapat terjadi setelah penggunaan tetes mata dan salep mata
Rasional : membersihkan informasi pada klien agar tidak melakukan aktivitas berbahaya sesaat setelah penggunaan obat mata.



DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,Lynda Juall.2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.Jakarta:EGC
Marlyn,E Doenges.2000.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta:EGC
Http://jec@jakarta-eye-center.com/trachoma.html
PATHWAY

Askep Glaukoma

ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN GLAUKOMA

BAB I
TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN
Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik berupa tekanan intra okuler penggaungan pupil saraf optik dengan defek lapang pandangan mata.
Glaukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan intra okuler. (Long Barbara, 1996)

B. Klasifikasi
1. Glukoma primer
Glukoma sudut terbuka terjadi karena tumor aqueus mempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular kelainannya berkenang lambat.
Glaukoma sudut tertutup
Glaukoma sudut tertutup terjadi karena ruang anterior menyempit, sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular dan menghambat humor aqoeus mengalir ke saluran schlemm.
2. Glaukoma sekunder
Glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata lain yang menyebabkan penyempitan sudut / peningkatan volume cairan dari dalam mata dapat diakibatkan oleh : perubahan lensa
Kelainan uvea
Trauma
Bedah
3. Glaukoma kongenital
Glaukoma yang terjadi akibat kegagalan jaringan mesodermal memfungsikan trabekular.
4. Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir, sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut.

Berdasarkan lamanya :
1. Glaukoma akut
Penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan intra okuler yang meningkat mendadak sangat tinggi.
2. Glaukoma kronik
Penyakit mata dengan gejala peningkatan tekanan bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi mata yang permanen.
C. Anatomi dan Fisiologi
Di dalam terdapat dua macam cairan :
1. Aqueus humor
Cairan ini berada di depan lensa.
2. Vitreus humor
Cairan penuh albumin berwarna keputih – putihan seperti agar – agar yang berada dibelakang biji mata, mulai dari lensa hingga retina. (Evelin C Pearce : 317)
Dalam hal ini cairan yang mengalami gangguan yang dihubungkan dengan penyakit glaukoma adalah aqueus humor, dimana cairan ini berasal dari badan sisiari mengalir ke arah bilik anterior melewati iris dan pupil dan diserap kembali kedalam aliran darah pada sudut antara iris dan kornea melalui vena halus yang dikenal sebagai saluran schlemm. (Evelin C. Pearce : 317).
Secara normal TIO 10 -21 mmHg karena adanya hambatan abnormal terhadap aliran aqueus humor mengakibatkan produksi berlebih badan silier sehingga terdapat cairan tersebut. TIO meningkat kadang – kadang mencapai tekanan 50 – 70 mmHg.

D. ETIOLOGI
1. Primer
Terdiri dari
a. Akut
Dapat disebabkan karena trauma.
b. Kronik
Dapat disebabkan karena keturunan dalam keluarga seperti :
 Diabetes mellitus
 Arterisklerosis
 Pemakaian kortikosteroid jangka panjang.
 Miopia tinggi dan progresif.
Dari etiologi diatas dapat menyebabkan sudut bilik mata yang sempit.
2. Sekunder
Disebabkan penyakit mata lain seperti :
 Katarak
 Perubahan lensa
 Kelainan uvea
 Pembedahan

E. Manifestasi Klinis
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka
- Kerusakan visus yang serius
- Lapang pandang mengecil dengan macam – macam skotoma yang khas
- Perjalanan penyakit progresif lambat
b. Glaukoma sudut tertutup
- Nyeri hebat didalam dan sekitar mata
- Timbulnya halo disekitar cahaya
- Pandangan kabur
- Sakit kepala
- Mual, muntah
- Kedinginan
- Demam bahkan perasaan takut mati mirip serangan angina, yang dapat sedemikian kuatnya sehingga keluhan mata (gangguan penglihatan, fotofobia dan lakrimasi) tidak begitu dirasakan oleh klien.
2. Glaukoma sekunder
- Pembesaran bola mata
- Gangguan lapang pandang
- Nyeri didalam mata
3. Glaukoma kongenital
- Gangguan penglihatan
(Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata, hal 147 – 150)

F. Patofisiologi
Tekanan Intra Okuler ditentukan oleh kecepatan produksi akues humor dan aliran keluar akues humor dari mata. TIO normal 10 – 21 mmHg dan dipertahankan selama terdapat keseimbangan antara produksi dan aliran akueos humor. Akueos humor di produksi didalam badan silier dan mengalir ke luar melalui kanal schlemm ke dalam sistem vena. Ketidakseimbangan dapat terjadi akibat produksi berlebih badan silier atau oleh peningkatan hambatan abnormal terhadap aliran keluar akueos melalui camera oculi anterior (COA). Peningkatan tekanan intraokuler > 23 mmHg memerlukan evaluasi yang seksama. Iskemia menyebabkan struktur ini kehilangan fungsinya secara bertahap. Kerusakan jaringan biasanya dimulai dari perifer dan bergerak menuju fovea sentralis. Kerusakan visus dan kerusakan saraf optik dan retina adalah ireversibel dan hal ini bersifat permanen tanpa penangan, glaukoma dapat menyebabkan kebutaan. Hilangnya penglihatan ditandai dengan adanya titik buta pada lapang pandang.
(Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata, hal 147 – 150)



ASUHAN KEPERAWATAN GLAUKOMA


A. Pengkajian
1. Anamnesis
Anamnesis meliputi data demografi, yang meliputi :
 Umur, glaukoma primer terjadi pada individu berumur > 40 tahun.
 Ras, kulit hitam mengalami kebutaan akibat glaukoma paling sedikit 5 kali dari kulit putih (dewit, 1998).
 Pekerjaan, terutama yang beresiko besar mengalami trauma mata.
Selain itu harus diketahui adanya masalah mata sebelumnya atau pada saat itu, riwayat penggunaan antihistamin (menyebabkan dilatasi pupil yang akhirnya dapat menyebabkan Angle Closume Glaucoma), riwayat trauma (terutama yang mengenai mata), penyakit lain yang sedang diderita (DM, Arterioscierosis, Miopia tinggi)
Riwayat psikososial mencakup adanya ansietas yang ditandai dengan bicara cepat, mudah berganti topik, sulit berkonsentrasi dan sensitif, dan berduka karena kehilangan penglihatan. (Indriana N. Istiqomah, 2004)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Neurosensori
 Gangguan penglihatan (kabur/ tidak jelas), sinar terang dapat menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/ merasa diruang gelap (katarak), tampak lingkaran cahaya/ pelangi sekitar sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotfobia (galukoma akut) bahan kaca mata/ pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
 Tanda : pupil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berwarna, peningkatan air mata.(www.IFC.com)
 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan oftalmaskop untuk mengetahui adanya cupping dan atrofi diskus optikus. Diskus optikus menjadi lebih luas dan dalampada glaukoma akut primer, karena anterior dangkal, Aqueus humor keruh dan pembuluh darah menjalar keluar dari iris.
 Pemeriksaan lapang pandang perifer, pada keadaan akut lapang pandang cepat menurun secara signifikan dan keadaan kronik akan menurun secara bertahap.
 Pemeriksaan melalui inspeksi, untuk mengetahui adanya inflamasi mata, sklera kemerahan, kornea keruh, dilatasi pupil, sedang yang gagal bereaksi terhadap cahaya (Indriana N. Istiqomah,2004)
b. Nyeri/ kenyamanan
 Ketidaknyamanan ringan/ mata berair (glaukoma kronis0
 Nyeri tiba- tiba / berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala (glaukoma akut). (www. IFC.com).
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kartu snellen / mesin telebinoklear
Digunakan untuk mengetahui ketajaman mata dan sentral penglihatan
b. Lapang penglihatan
Terjadi penurunan disebabkan oleh CSV, masa tumor pada hipofisis / otak, karotis / patofisiologis, arteri serebral atau glaukoma.
c. Pengukuran tonografi
Mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12 – 25 mmHg)
d. Pengukuran gonoskopi
Membantu membedakan sudut terbuka dan sudut tertutup
e. Tes provokatif
Digunakan dalam menentukan tipe glaukoma jika TIO normal / hanya meningkat ringan.
f. Pemeriksaan aftalmoskop
Menguji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan retina dan mikroaneurisma.
g. Darah lengkap, LED
Menunjukkan anemia sistemik / infeksi
h. EKG, kolesterol serum dan pemeriksaan lipid
Memastikan arterosklerosis, PAK
i. Tes toleransi glukosa
Menentukan adanya DM

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler
2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan hilangnya pandangan perifer
3. Gangguan citra diri berhubungan dengan kebutaan
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokuler
Tujuan : nyeri terkontrol / tulang
Kriteria hasil :
 Pasien mengatakan nyeri berkurang / hilang
 Ekspresi wajah rileks
 Pasien mendemonstrasikan pengetahuan akan penilaian pengontrolan nyeri.
Intervensi :
a. Observasi derajat nyeri mata
Rasional : mengidentifikasi kemajuan / penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
b. Anjurkan istirahat di tempat tidur dalam ruangan yang tenang
Rasional : stress mental / emosi menyebabkan peningkatan TIO
c. Ajarkan pasien teknik distraksi
Rasional : membantu dalam penurunan persepsi / respon nyeri
d. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai program
Rasional : untuk mengurangi nyeri
2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan hilangnya pandangan perifer
Tujuan : Penggunaan penglihatan yang optimal
Kriteria hasil :
 Pasien berpartisipasi dalam program pengobatan
 Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan lebih lanjut.
Intervensi :
a. Kaji derajat / tipe kehilangan penglihatan
Rasional : mengetahui harapan masa depan klien dan pilihan intervensi.
b. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan tentang kehilangan / kemungkinan kehilangan penglihatan.
Rasional : intervensi dini untuk mencegah kebutaan, klien menghadapi kemungkinan / mengalami kehilangan penglihatan sebagian atau total.
c. Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, mengikuti jadwal, tidak salah dosis.
Rasional : Mengontrol TIO, mencegah kehilangan penglihatan lebih lanjut
d. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, misalnya agen osmotik sistemik.
Rasional : untuk mengurangi TIO
3. Resiko cedera berhubungan dengan kebutaan
Tujuan : peningkatan lapang pandang optimal
Kriteria hasil :
Tidak terjadi cedera.
Intervensi :
a. Bersihkan sekret mata dengan cara benar.
Rasional : sekret mata akan membuat pandangan kabur.
b. Kaji ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau dua mata yang terlibat.
Rasional : terjadi penurunan tajam penglihatan akibat sekret mata.
c. Anjurkan pasien menggunakan kaca mata gelap
Rasional : mengurangi fotofobia yang dapat mengganggu penglihatan klien.
d. Perhatikan keluhan penglihatan kabur yang dapat terjadi setelah penggunaan tetes mata dan salep mata
Rasional : membersihkan informasi pada klien agar tidak melakukan aktivitas berbahaya sesaat setelah penggunaan obat mata.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawata Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif.1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III Jilid 1. Jakarta : FKUI.

Senin, 16 Agustus 2010

Askep Asfiksia Neonatorum

ASKEP ASFIKSIA NEONATORUM

BAB I

TINJAUAN TEORI

ASFIKSIA NEONATORUM



A. Definisi
Suatu keadaaan dimana bayi tidak dapat segera bernapas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini oleh karena hipoksia janin intrauterine dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul di dalam kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir.

B. Anatomi fisiologi
Pada dasarnya anatomi dan fisiologi neonatus dan bayi mempunyai kesamaan. Yang membedakannya hanya pada irama, kedalaman dan frekuensi pernapasannya. Hal ini dikarenakan proses adaptasi neonatus dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstra uterin.

C. Etiologi
Hipoksia yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transpor O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2.
Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab asfiksia neonatorum terdiri dari :
1. Faktor ibu
 Hipoksia ibu yang akan terjadi akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya, hipoksia ini terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian anastesia.
 Gangguan kontraksi usus
 Hipotensi mendadak pada ibu karena pendarahan
 Hipertensi
Hb yang menurun berakibat pada janin karena kekuatan mengikat O2 akan berkurang sehingga terjadi hipoksia
 Gangguan penyakit jantung
2. Faktor fetus
 Kompresi umbilicus
 Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
 Lilitan tali pusat
3. Faktor plasenta
 Plasenta tipis
 Plasenta kecil
 Plasenta tidak menempel
 Solusio plasenta
4. Faktor neonatus
 Pemakaian obat anastesi yang berlebihan pada ibu
 Trauma yang terjadi saat persalinan
 Kelainan kongenital pada bayi
 Prematur
5. Faktor persalinan
 Partus lama
 Partus tindakan
6. Faktor resiko
 Gizi ibu yang buruk
 Anemia
 Gangguan oksigenasi
 Gangguan pemberian zat makanan/nutrisi
 Penyakit menahun (hipertensi, gangguan penyakit jantung)

D. Komplikasi
Komplikasi ini meliputi beberapa organ :
1. Otak : hipokstik iskemik ensefalopati, edeme serebri, palsi selebralis
2. Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persisten pada neonatorum, pendarahan paru, edema paru.
3. Gastrointestinal : enterokolitis nekotrikans
4. Ginjal : tubular nekrosis akut
5. Hematologi

E. Patofisiologi
Setiap bayi baru lahir selalu mengalami keadaan hipoksia, dan karena hipoksia itu akan merangsang bayi untuk berusaha bernapas. Tetapi bila bayi tidak menunjukkan usaha bernapas hipoksia itu berlanjut sampai ke keadaan yang parah. Hipoksia janin itu sendiri dipengaruhi oleh faktor ibu, fetus, plasenta, neonatus, dan resiko.
Hipoksia pada ibu akan mengakibatkan gangguan aliran plasenta sehingga terjadi penurunan aliran O2 ke janin sehingga janin akan mengalami hipoksia. Untuk faktor fetus hipoksia janin terjadi akibat kompresi tali pusat sehingga terjadi gangguan aliran darah umbilikus pada janin. Sedangkan untuk faktor plasenta terjadi insufisiensi plasenta yang menyebabkan penurunan aliran O2 ke janin. Anastesi yang diberikan secara berlebihan pada waktu proses persalinan dan trauma yang dialami bayi sewaktu persalinan (partus lama dan partus tindakan) akan mengakibatkan depresi susunan saraf pusat pada janin. Sehingga akan terjadi kekacauan pada SSP dalam memberikan impuls kepada organ pernapasan dan berakibat gangguan fungsi organ pernapasan. Udara yang dihirup akan mengandung bakteri, virus maupun benda-benda asing yang semestinya tidak ikut masuk ke organ pernapasan untuk itu organ-organ pernapasan atas akan melakukan kompensasi dengan mengeluarkan lendir atau mukus, tetapi karena terjadinya kerusakan organ-organ pernapasan terjadilah produksi lendir yang berlebih sehingga akan mengakibatkan penumpukan mukus atau lendir. Hal ini akan menurunkan kadar O2 yang seharusnya diterima janin secara normal (terjadilah hipoksia janin). Untuk faktor resiko diakibatkan karena gizi buruk pada ibu sehingga mempengaruhi penurunan kadar Hb dalam darah ibu. Karena Hb yang berfungsi mengikat O2 menurun mengakibatkan O2 dalam darah ibu berkurang, hal ini mengakibatkan sirkulasi O2 dan nutrisi dari ibu ke janin terganggu, pada akhirnya terjadi penurunan IVGR dan hipoksia janin. Dalam hal ini terjadi pula kematuran paru yang mengakibatkan ekspansi paru belum maksimal sehingga terjadi kelemahan-kelemahan otot pernapasan yang berakibat hipoksia janin.
Hipoksia janin mengakibatkan perfusi jaringan yang berakhir pada kematian jaringan. Selain itu hipoksia janin mengakibatkan metabolisme anaerob sehingga terjadi akumulasi asam laktat, hal itu akan membuat bayi mengalami asidosis yang akan berakibat pada asfiksia. Hipoksia janin juga akan menstimulasi nevus vagus saraf simpatis yang akan mengaktifkan kontraksi otot polos kolon. Sehingga janin mengalami defakasi intrauterin yang akan membuat air ketuban berwarna hijau. Pada saat janin melakukan aspirasi intrapartum air ketuban yang terkontaminasi oleh tinja tersebut akan ikut masuk ke dalam sistem pernapasan janin yang berakibat janin mengalami asfiksia.
Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnoe I disertai penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan menujukkan usaha nafas, dan kemudian diikuti pernapasan teratur. Pada asfiksia sedang dan berat, usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada pada periode apnoe yang ke II. Apabila perawatan yang dilakukan berhasil bayi akan menunjukkan usaha bernapas, tetapi jika tidak bayi akan mati.






F. Pathway














G. Manifestasi klinik
Tanda – tanda Stadium I Stadium II Stadium III
Tingkat kesadaran Sangat waspada Lesu (letargia) Pingsan (stupor), koma
Tonus oto Normal Hipotonik Flasid
Postur Normal Fleksi Disorientasi
Reflek tendo / klenus Hyperaktif Hyperaktif Tidak ada
Mioklonus Ada Ada Tidak ada
Reflek morrow Kuat Lemah Tidak ada
Pupil Midriasis Miosis Tidak sama, refleks cahaya jelek.
Kejang – kejang Tidak ada Lazim Desebrasi
EEG Normal Voltase rendah  aktivitas kejang-kejang Supresi ledakan sampai isoelektrik
Lamanya 24 jam jika ada kemajuan 24 jam sampai 14 hari Beberapa hari sampai beberapa minggu
Hasil akhir Baik Bervariasi Kematian, defisit berat

Tanda dan gejala Data Nilai Apgar
Appearance / warna kulit Biru, pucat 0
Pulse / nadi 94 x / menit 1
Grimace Menangis 2
Activity / keaktivitasan Ekstremitas sakit fleksi 1
Respiration Lambat, menangis, lemah 1
Jumlah skor apgar 5

H. Penatalaksanaan medis
Penatalaksaan medis dengan asfiksia neonatorum sedang
Bila nilai APGAR 4-6
1. Bayi kadang-kadan memerlukan resusitasi aktif, langkah pertama melakukan tindakan seperti pada bayi dengan nilai Apgar 7 – 10.

2. Pernapasan buatan yang dikerjakan
a. Pernapasan kodok (frog breathing) tindakan di hentikan apabila dalam 1 – 2 menit tidak didapatkan hasil yang diharapkan
b. Pernapasan mulut ke mulut / penggunaan pompa resusitasi. Dalam hal ini harus di gunakan ”pharyngeal airway” agar jalan napas dapat bebas.
c. Intubasi endotrakea dan O2 di berikan melalui kateter endotrakeal dengan tekanan tidak melebihi 30 ml H2O.
3. Pemberian natrium bikarbonat 7.5% dengan dosis 2-4 ml/kg BB bersama-sama dengan glukosa 40% 1 – 2 ml/kg BB dapat diberikan apabila bayi belum bernapas 3 menit setelah lahir, walaupun tindakan-tindakan resusitasi sudah dikerjakan secara adekuat

I. Penatalaksanaan keperawatan penunjang medis
Cegah pelepasan panas yang berlebihan, keringkan / hangatkan dengan menyelimuti tubuhnya terutama bagian kepala dengan handuk yang kering. Bebaskan jalan napas : atur posisi, isap lendir, bersihkan jalan napas bayi dengan hati-hati dan pastikan bahwa jalan napas bayi bebas dari hal-hal yang dapat menghalangi masuknya udara ke dalam paru.
Hal ini dapat dilakukan dengan :
Ekstensi kepala dan leher, sedikit lebih rendah dari tubuh bayi. Hisap lendir, cairan pada mulut dan hidung bayi sehingga jalan napas bersih dari cairan ketuban, mekonium / lendir dan menggunakan penghisap lendir Delee. Rangsangan taktil, bila mengeringkan tubuh bayi dan penghisapan lendir / cairan ketuban dari mulut dan hidung yang dasarnya merupakan tindakan rangsangan belum cukup untuk menimbulkan pernapasan yang adekuat pada bayi baru lahir dengan penyulit, maka diperlukan rangsangan taktil tambahan. Selama melakukan rangsangan taktil, hendaknya jalan napas sudah dipastikan bersih walaupun prosedur in cukup aman untuk memberikan rangsangan taktil, yaitu :
 Menepukkan atau menyentil telapak kaki dan menggosok punggung bayi. Cara ini sering kali menimbulkan pernapasan pada bayi yang mengalami depresi pernapasan ringan.
 Cara lain yang cukup aman adalah melakukan penggosokkan pada punggung bayi secara cepat, mengusap atau mengelus tubuh, tungkai dan kepala bayi juga merupakan rangsangan taktil tetapi rangsangan yang ditimbulkan lebih ringan dari menepuk, menyentil atau menggosok. Prosedur ini tidak dapat dilakukan pada bayi yang apnoe, hanya dilakukan pada bayi yang telah berusaha bernapas. Elusan pada tubuh bayi, dapat membantu untuk meningkatkan frekuensi dari dalamnya pernapasan.

J. Kebutuhan khusus staf perawat
Alat-alat yang disiapkan dalam resusitasi bayi
1. Alat-alat untuk pemanas bayi seperti lampu pemanas, botol air panas dll.
2. Alat-alat penghisap lendir jalan napas
3. Alat-alat untuk pernapasan buatan
- Oksigen
- Pompa resusitasi
- Pharingal airway
- Laringoskop
- Kateter endotakreal
- Kateter O2
4. Obat-obatan
- Natrium bikarbonat
- Glukosa
- Vitamin K
- Antibiotika

K. Pemeriksaan diagnostik
- Analisa gas darah (PH kurang dari 7.20)
- Penilaian APGAR score meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus otot dan reflek
- Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah tumbuh komplikasi
- Pengkajian spesifik
- Elektrolit garam, baby gram, USG, gula darah.







ASKEP PADA ASFIKSIA NEONATORUM

A. Analisa data
Hari / tgl No Data Etiologi Masalah TTD
1 Ds : -
Do : pernapasan tidak teratur, lambat, menangis lemah, RR : 34 x / menit Penumpukkan mucus / lender
Obstruksi mekanisme Bersihan jalan napas tidak efektif
2 Ds : -
Do : bayi menangis lemah, RR : 34 x / menit, warna kulit biru pucat, pernapasan tidak teratur, respirasi lambat. Respirasi belum adekuat
Ekspansi paru belum maksimal Gangguan pemenuhan kebutuhan O2
3 Ds : -
Do : pernapasan tidak teratur, RR : 34 x / menit, respirasi lambat, menangis lemah Kelemahan otot-otot pernapasan Pola napas tidak efektif
4 Ds : -
Do : ekstremitas sedikit fleksi, pulse 94 x / menit, menangis lemah Ketidakseimbangan suplai O2 dan kebutuhan
5 Ds : -
Do : pulse 94 x / menit , Warna kulit biru pucat, ekstremitas sedikit fleksi, RR : 34 x / menit. Hipoksia Perfusi jaringan penurunan O2


B. Diagnosa keperawatan
Hari / tanggal No Diagnosa keperawatan TTD
1 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas, penumpukkan mukus lendir yang ditandai dengan pernapasan tidak teratur, respirasi lambat, RR : 34 x /menit
2 Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 berhubungan dengan ekspansi paru belum maksimal, respirasi belum adekuat yang ditandai dengan : bayi menangis lemah, RR : 34 x /menit, warna kulit biru pucat, pernapasan belum teratur, respirasi lambat.
3 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernapasan / muskuluskeletal yang ditandai dengan : pernapasan tidak teratur, respirasi lemah, RR : 34 x / menit, menangis lemah
4 Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplay O2 berhubungan yang ditandai dengan : ekstremitas sedikit fleksi, menangis lemah, pulse 94 x / menit.

5 Perfusi gangguan jaringan berhubungan hipoventilasi, penurunan konsentrasi Hb darah yang ditandai dengan : pulse : 94 x /menit, warna kulit biru pucat, ekstremitas sedikit fleksi.

C. Intervensi keperawatan
Hari / tanggal No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi TTD
1 Bersihan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 – 24 jam bersihan jalan napas efektif.
KH : jalan napas tetap bersih bayi bernapas dengan mudah, bernapas dalam batas normal. - Beri posisi terlentang, dengan leher sedikit ekstensi
- Hindari hiperekstensi
- Observasi dengan ketat
- Hisap secret dari jalan napas sesuai kebutuhan
- Bantu mengeluarkan sputum
2 Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 – 24 jam kebutuhan O2 terpenuhi
KH : tidak ada pernapasan cuping hidung, tidak sianosis - Beri penjelasan pada keluarga tentang penyebab sesak napas yang dialami
- Atur kepala bayi dengan posisi ekstensi
- Longgarkan jalan napas, observasi tanda-tanda kekurangan O2
- Hangatkan bayi dalam incubator
- Monitoring sistem jantung paru
- Mengkaji denyut nadi
- Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian O2
3 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan selama 1 – 24 jam pola napas efektif
KH : bernapas tidak sulit, pernapasan tetap dalam batas normal, dapat beristirahat dalam batasan normal. - Posisikan untuk efisien ventilasi maksimum (jalan napas terbuka)
- Beri posisi yang nyaman
- Hindari pakaian ketat
- Gunakan bantal dalam mempertahankan jalan napas
- Tingkatkan istirahat tidur
- Tempatkan O2 sesuai kebutuhan
4 Intoleran aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 – 24 jam aktivitas normal
KH : bayi tidak menunjukkan peningkatan distress pernapasan bayi tenang / rilexs - Kaji intoleran fisik
- Beri lingkungan yang nyaman
- Dorong orang tua untuk menjaga bayi
- Anjurkan periode istirahat yang sering.
- Jadwalkan kunjungan untuk memungkinkan istirahat yang cukup
5 Perfusi jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 – 24 jam tidak terjadi perfusi jaringan
KH : jaringan dapat menerima suplai O2 secara cukup - Berikan suplai O2 secara adekuat
- Pantau / kontrol ekstremitas pada bayi


D. Implementasi Keperawatan
Hari / tanggal Dignosa keperawatan Implementasi Respon / hasil TTD
Bersihan jalan napas tidak efektif - Memberi posisi terlentang, dengan leher sedikit ekstensi
- Mengobservasi dengan ketat
- Menghisap secret dari jalan napas sesuai kebutuhan
- Membantu mengeluarkan sputum Do :
Ds :
Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 - Memberi penjelasan pada keluarga tentang penyebab sesak napas yang dialami
- Mengatur kepala bayi dengan posisi ekstensi
- Melonggarkan jalan napas, observasi tanda-tanda kekurangan O2
- Menghangatkan bayi dalam incubator
- Memonitoring sistem jantung paru
- Mengkaji denyut nadi
- Mengkolaborasi dengan tim medis untuk pemberian O2 Do :
Ds :
Pola napas tidak efektif - Memposisikan untuk efisien ventilasi maksimum (jalan napas terbuka)
- Memberi posisi yang nyaman
- Menghindari pakaian ketat
- menggunakan bantal dalam mempertahankan jalan napas
- Meningkatkan istirahat tidur
- Menempatkan O2 sesuai kebutuhan Do :
Ds :
Intoleran aktivitas - Mengkaji intoleran fisik
- Memberi lingkungan yang nyaman
- Mendorong orang tua untuk menjaga bayi
- Menganjurkan periode istirahat yang sering.
- Menjadwalkan kunjungan untuk memungkinkan istirahat yang cukup Do :
Ds :
Perfusi jaringan - Memberikan suplai O2 secara adekuat
- Memantau / kontrol ekstremitas pada bayi Do :
Ds :


E. Evaluasi
Hari / tanggal Diagnosa keperawatan Evaluasi TTD
Bersihan jalan napas tidak efektif S : -
O : RR : 36 x / menit
Pulse : 120 x / menit
Bayi bernapas dengan mudah jalan napas bersih
Bernapas dalam batas normal
A : masalah teratasi
P : hentikan intervensi
Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 S : -
O : warna kulit normal
Tidak ada pernapasan cuping hidung
Tidak sianosis
RR : 37 x / menit
Pulse : 120 x /menit
A : masalah teratasi
P : hentikan intervensi
Pola napas tidak efektif S : -
O : RR : 37 x / menit
Pulse : 120 x / menit
Pola napas normal bernapas dengan mudah
A : masalah teratasi
P : hentikan intervensi
Intoleran aktivitas S : -
O :bayi tidak menunjukkan peningkatan distress pernapasan bayi rilexs
A : masalah teratasi
P : hentikan intervensi
Perfusi jaringan S : -
O : -
A : masalah teratasi
P : hentikan intervensi


F. Rencana persiapan pulang
1. Surat izin dokter / RS
2. Administrasi (pembiayaan selama dirawat)
3. Klien menunjukkan KH sesuai yang ditentukan
4. Pendidikan kesehatan kepada pihak keluarga mengenai penyakit ini
5. Anjuran melanjutkan perawatan di rumah