Sabtu, 28 Agustus 2010

Askep Agnosia

ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN AGNOSIA

BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mengorganisasikan informasi sensorik agar bisa mengenal benda – benda / hilangnya daya untuk mengenali arti stimuli sensoris macamnya sesuai indranya.
Agnosia adalah ketidakmampuan menginterpretasikan / mengenal benda yang dilihat dengan menggunakan perasaan spesial. (KMB Vol 3 : 2090)
Agnosia adalah hilangnya kemampuan untuk mengenali benda – benda, orang, suara, bentuk / bau sementara arti tertentu tidak cacat juga tidak ada kerugian memori yang signifikan. Hal ini biasanya berhubungan dengan cedera otak / penyakit syaraf, khususnya setelah kerusakan pada lobus temporal.

B. Etiologi
1. Stroke
2. Demensia / gangguan neurologis
3. Brain damage kerusakan otak
4. Dementia singkat akal
5. Neurological disorders (see cognitive impairment) gangguan syaraf (gangguan kognitif)
6. Apallic syndrome – agnosia apallic syndrome – agnosia
7. Nielsen – jacobs syndrome – agnosia nielsen – jacobs syndrome – agnosia
8. Hereditary (turun – temurun)
9. Head injury (cedera kepala)
10. Brain infection (infeksi otak)




C. Manifestasi Klinis
1. Ketidakmampuan untuk mengenali obyek
2. Ketidakmampuan untuk mengenali orang
3. Ketidakmampuan untuk mengenali suara
4. Ketidakmampuan untuk mengenali suara yang akrab
5. Ketidakmampuan untuk mengenali bentuk
6. Ketidakmampuan untuk mengenali bau
7. Ketidakmampuan untuk mengenali benda asing

D. Type Jenis
1. Visual agnosia dikaitkan dengan lesi kiri lobus oksipital dan lobus temporal. Banyak pasien telah cacat parah bidang visual.
2. Obyek visual adalah ketidakmampuan untuk mengenali obyek.
Subtipe :
a. Formulir agnosia : pasien hanya merasakan bagian rincian, bukan keseluruhan objek.
b. Agnosia finger : ketidakmampuan untuk membedakan jari – jari tangan. Hal ini hadir dalam lesi yang dominan lobus parietal dan merupakan komponen dari sindrom berst mann.
c. Simultanogsia : pasien dapat mengenali objek atau rincian dalam mereka bidang visual, tetapi hanya satu persatu. Mereka tidak bisa melihat adegan, mereka milik atau membuat sebuah gambar keseluruhan dari rincian. Mereka benar – benar tidak dapat melihat hutan untuk pohon. Simultanagnosia merupakan gejala umum sindrom balint.
d. Agnosia asosiatif : pasien dapat menggambarkan adegan visual, dan kelas objek tapi masih gagal mengenali mereka. Dia mungkin, misalnya, tahu bahwa garpu adalah suatu yang anda makan dengan tapi mungkin kesalahan untuk sendok. Pasien yang menderita agnosia asosiatif dapat mereproduksi gambar melalui penyalinan.
e. Apperceptive agnosia : pasien tidak dapat membedakan bentuk visual dan begitu sulit mengakui, menyalin, atau membedakan antara rangsangan visual yang berbeda. Tidak seperti pasien yang menderita agnosia asosiatif, mereka yang agnosia apperceptive tidak mampu untuk menyalin gambar.
f. Agnosia cermin : pasien tidak dapat mengenali obyek atau aktivitas di kiri atau kanan lapangan pandang mereka. Penurunan dapat bervariasi dari kekurangan perhatian ringan untuk menyelesaikan ketidakmampuan untuk melakukan penalaran spesial berkaitan dengan sisi menderita. Gangguan ini mengambil namanya dari sebuah percobaan di mana pasien ditunjukkan benda tercermin dalam cermin dan melihat mereka, tetapi tidak dapat menemukan mereka ketika di minta.
g. Prospagnosia : pasien tidak dapat secara sadar mengenali wajah – wajah akrab, kadang – kadang bahkan termasuk mereka sendiri. Penurunan mungkin berbeda dari wajah membuat tidak masuk akan untuk dapat melihat wajah tapi tidak menghubungkan mereka dengan informasi semantik, seperti identitas orang tersebut, nama atau pekerjaan. Anehnya, walaupun tidak secara sadar mengenali orang, penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan prosopagnosia dapat menunjukkan respons emosional untuk wajah – wajah akrab. Terpengaruhnya orang mungkin mampu mengenali seseorang melalui isyarat lain, seperti suara yang dikenalnya atau pakaian. Hal ini terutama mungkin setelah bilateral (kedua sisi) atau kerusakan lobus temporal kanan. Para ahli tidak sepakat tentang penyebab prospagnosia. Ini mungkin obyek spesifik persepsi.
h. Alexia agnosia : ketidakmampuan untuk mengenali teks.
3. Agnosia warna : ada perbedaan antara persepsi warna versus pengakuan warna tengah. Achromoptasia mengacu pada kekurangan persepsi warna.
4. Agnosia auditori : mengacu pada gejala yang mirip dengan lingkungan isyarat no n verbal pendengaran. Hal ini terpisah dari kata tuli (juga dikenal sebagai kata ketulian murni) yang agnosia terhubung ke informasi verbal pendengaran reseptif. Amusia adalah agnosia untuk musik tuli. Kortikal mengacu kepada orang – orang yang tidak menanggapi informasi pendengaran tetapi pendengaran yang utuh.
5. Somatosensori agnosia / astereognisa terhubung ke taktil akal yaitu sentuhan. Pasien menemukan kesulitan untuk mengenali obyek yang sama dari gambar atau membuat gambar dari mereka. Pemikiran untuk dihubungkan ke lesi atau kerusakan di korteks somatosensori.

E. Pathofisiologi
Terjadinya agnosia karena adanya gangguan visual otaknya atau disfungsi neurologist akibat dari stroke, demensia gangguan perkembangan atau kondisi neurologist lainnya.
Agnosia merupakan hasil dari kerusakan dari daerah tertentu di otak lobus oksipital atau parietal otak, sehingga pada daera tersebut terdapat lesi yang dapat menyebabkan kerusakan syaraf sehingga terjadi berbagai bentuk agnosia.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pengujian neuropsychologic
Pasien diminta untuk mengidentifikasi objek melalui pengobatan sentuhan atau rasa lain. Jika diduga emineglect, pasien di minta untuk mengidentifikasi bagian – bagian tubuh mereka yang lumpuh atau objek dalam bidang hemivisual mereka.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendeteksi deficit primer indra individu atau komunikasi yang dapat mengganggu tes untk diagnosis. Pengujian neuropsychologic dapat membantu mengidentifikasi agnosia lebih halus.

2. CT atau MRI dengan atau tanpa protocol angiographic
Untuk mengarakteriasi lesi sentral (infark, perdarahan, massa) dan untuk memeriksa atrofi gangguan degeneratif.

G. Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk agnosia. Rehabilitasi terapi okupasi dapat membantu pasien belajar untuk mengimbangi kekurangan mereka.
Tapi terapi tersebut kadang dapat meningkatkan agnosia tergantung pada etiologinya.


PATHWAY

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Gangguan fokal neurologis
Pada lobus fokal terjadi gangguan kepribadian, gangguan efek, disfungsi system motor, kejang, aphasia.
Pada lobus oksipital terjadi gangguan penglihatan dan tidak dapat mengenali atau menyebut nama atau segala sesuatu yang dilihat.
Pada lobus temporal bias terjadi halusinasi pendengaran.
Pada lobus parietal dapat ditemukan ketidakmampuan membedakan kiri kanan.
2. Mentasi, perubahan kepribadian
Menurunnya daya ingat, kemampuan mengambil keputusan menurun.
3. Data dasar pengkajian
a. Aktivitas
Ketidakmampuan untuk menyebutkan kembali apa yang dilihat
Gangguan ketrampilan motorik
Ketidakmampuan untuk melakukan hal yang telah biasa dilakukannya.
b. Sirkulasi
4. Integritas ego
Kesalahan persepsi terhadap lingkungan
Kesalahan identifikasi terhadap objek
Perubahan citra tubuh dan harga diri yang dirasakan

5. Eliminasi
6. Makanan / cairan
Perubahan dalam pengecapan
Nafsu makan menurun
Berat badan menurun
7. Higyene
Perlu bantuan / tergantung pada orang lain.
8. Neuro sensori
Pengingkaran terhadap gejala yang ada terutama perubahan kognitif dan atau gambaran yang kabur.
Penurunan kemampuan, kognitif mengingat yang baru berlalu.
Penurunan komunikasi, kesulitan dalam menentukan kata – kata yang benar.
Bertanya berulang – ulang dengan substansi kata yang tidak memiliki arti (berpenggal – penggal).
Kehilangan kemampuan untuk membaca atau menulis.
Kesulitan dalam berfikir kompleks dan abstrak.
Gangguan daya ingat
Perubahan visual
Kemampuan menghitung sederhana
9. Kenyamanan
Resti cidera
10. Interaksi social
Merasa kehilangan kekuatan
Kehilangan control social



B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Kehilangan persepsi
2. Riwayat penyakit sekarang
Kehilangan memory, gangguan persepsi
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat pernah menderita trauma kepala, stroke
4. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga mungkin ada yang menderita tumor.

C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan kerusakan saraf olfaktorius
2. Gangguan persepsi sensori oftalmikus berhubungan dengan penurunan visus.
3. Gangguan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan gangguan penghantaran impuls
4. Gangguan persepsi sensori perasa berhubungan dengan kerusakan saraf vagus glosofaringeus
5. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan penglihatan

D. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori penciuman berhubungan dengan kerusakan saraf olfaktorius
a. Kaji hidung klien (warna kulit, kesimetrisan)
b. Gunakan metode untuk menstimulasi indra penciuman (bau wangi, parfum, bau yang tidak sedap)
c. Gunakan permainan sensori untuk menstimulasi realita, seperti mencium permen / vick’s
2. Gangguan persepsi sensori oftalmikus berhubungan dengan penurunan visus.
a. Intervensi : kaji adanya gangguan penglihatan, catat adanya penurunan lapang pandang, perubahan ketajaman persepsi (bidang horizontal / vertical) adanya diplopia (pandangan ganda)
b. Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian tubuh. Segmen lingkungan kehilangan kemampuan untuk mengenali objek yang sebelumnya dikenal / tidak mampu untuk mengenal anggota keluarganya.
c. Dorong klien mengekspresikan perasaan tentang penurunan / kemungkinan kehilangan penglihatan.
d. Orientasikan pasien terhadap lingkungan serta lingkungan orang lain di areanya.
e. Ciptakan lingkungan yang sederhana perabot yang membahayakan.
3. Gangguan persepsi sensori pendengaran berhubungan dengan gangguan penghantaran impuls
a. Periksa pendengaran klien secara sederhana dengan menggunakan suara bisikan.
b. Periksa pendengaran klien dengan menggunakan test rinne dan test weber.
c. Memandang ketika saling bicara
d. Menggunakan tanda – tanda non verbal (mis : expresi wajah menunjuk / gerakan tubuh) dan bentuk komunikasi lainnya.
4. Gangguan persepsi sensori perasa berhubungan dengan kerusakan saraf vagus glosofaringeus
a. Kaji penurunan ketajaman perasa pasien
b. Berikan stimulasi rasa tertentu
c. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
d. Jelaskan kepada pasien dan keluarga untuk mematuhi program terapi
5. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan penglihatan
a. Kaji faktor – faktor resiko yang mungkin timbul
b. Berikan lingkungan yang aman dan nyaman
c. Jelaskan kepada pasien mengenai lingkungan sekitar



DAFTAR PUSATAKA

Smeltzer, Suzanne C.2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
http://agnosya.blogspot.com//2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar